Kamis, 20 November 2008

Puisi-Puisi Esha Tegar Putra

http://jurnalnasional.com/
Orang Ladang

tujuh petang menukak punggungnya, di bukit
ingin mencakau alang-alang. niat tinggal kalimat
tujuh petang gigih menikam, menyansam,
mirip ragam umbi yang ditanak dalam periuk
teruka ini tinggal batas, tinggal jejak, sebab di bukit
ia tumbuh dan menyusup ke dalam lempung tanah

tujuh petang menukak punggungnya, di ladang
ada yang tak pernah hafal desau biola, segelas anggur
atau niat untuk membangun rumah pasir di tepi pantai
sebab ia orang ladang. ia lesap ketika mengejar tupai dan beruk,
dia rapal musim petik kopi
dan ketukan yang berkali pada pintu dangau
ia tahu siapa yang tiba

maksud hanya menukak tanah lalu tanam. menanam
lalu petik. tapi sepi berkuasa terlalu dalam
ia ingin bertuju pada sebuah jalan batu, simpang
dengan udara masam, ilalang kering merabuk
ke sebuah tempat di mana tupai dan beruk berdamai,
bersamanya. mereka akan berkejaran di bukit
dalam botol anggur,
lalu mereka akan lelap di desau biola

tujuh senja adalah ia yang ingin berladang
pada sebuah tanah yang bernama puisi
yang berlari, yang terhenti, ia tetap orang ladang

Kandangpadati, 2008



Tampuk

ke tampuk batang jambu,
bila inginmu ikut bergelantung
kelamaan akan terhitung
mumbang yang berjatuhan dari sebelah
sebelum hijau memerah, batang rapuh melapuk,
tampuk merabuk

baiknya lubang atau kulit tergelubik
pecah dipijak serangga mabuk
dan membiarlah rampai hari tergujai.
biar bibir-bibir angin menikahi lumut
diam akan jadi berkah buah di penghujung bulan hujan
berkah air menikahi tanah, membiarlah.
ke tampuk, tetap kita akan mengembali
sebab waktu abadi di tumbuh-patahnya tampuk

ke kelok angin lihatlah,
“adakah tampak sepasang murai
sedang terbang mencari hinggap?”
padahal kaki sebelah luka dibawa berharap pada sayap

merabuk juga ini waktu
cerita makin pasi didendang hari. berkali menjalin kata,
berkali-kali tersungkur batu pijakan
barangkali tampuk, tempat tuju, menjadi lurah
bertumbuk jalan. biar jatuh jadi pokok pencarian lain
selain ingin bergelantung
mungkin batang jambu akan tumbuh
di tepian bebatu lurah

Kandangpadati, 2008



Sakit

dalam parak, gugusan daun
memendam kampung dalam lebam

serupa tungku, serupa abu,
serupa batu yang pecah diamuk bara
dan kubaca kau dalam igau
dalam parau tidur yang tak jadi nyata

rupanya rasa membilah hari
lewat tarian bulan garang

ingatlah yang berzanji
menyadap sebatang nira di lurah bermiang
dalam haus, lalu mereguk pincuran matanya
yang lahir dari ubun-ubun bukit sakit

Kandangpadati, 2008



Di Gelungan Rambut

di gelungan rambutmu telah kutanam rimba
tempat panas percintaan kita dengan kabut
bersemayam. dan kau telah menukak tanahnya
dengan garang, lalu menancapkan kota,
membuat sumur dalam yang penuh liur serigala.
mengingatnya, aku jadi rindu pada percintaan
masam tanpa garam. ingin aku bergumul lagi
dengan hamparan ilalang panjang. membiarkan tubuh
gatal dan mata yang memendam hujan lebat. maka
akan kita selusuri lagi
lekuk bukit, ceruk lembah, dari ketiadan

sumpah, di gelungan rambutmu telah kusembunyikan
beragam kerinduan dan kau akan menemui diriku
di lain waktu. seketika kota dengan beragam
bangunan yang kau tancapkan menjadi ingatan gilamu
pada percintaan kita. kau akan bersigegas menyisir
gelungan rambutmu yang terus merontok
dengan jemari yang membatu, sumpah

Padang, 2007



Lepas Ingatan

merinduimu sampai ke ngilu tulang adalah keharusan
apa yang tampak, apa yang tertanam, adalah kenangan
sebut aku yang berdiang di lipatan matamu
mendulang bebiji hari buat membayar hutang pada waktu

kau terlalu cepat menagih sakit yang tertuang
hingga puisi menjadi candu pahit
bakal pelepas ingat

mengingatmu adalah keharusan, sebab badan
terlanjur basah, terlanjur bermandi di gelegak pertemuan
“aku akan menjemputmu
seketika tahun menawarkan
sepetak tanah untuk membikin pondok”
meski seketika itu matamu berubah lain
dan geraian rambutmu tak lagi menjadi pertanda pertautan.
tetap akan kupersuakan padamu, senja yang
menyauh lesi angin laut emma haven
tempat kita bertandang pada sebuah cerita. di mana
lembaran-lembaran catatan tentang padang tersuratkan

Kandangpadati, 2008



Simpang Sawahan

bertolaklah pulang, badanku sedang di simpang sawahan
jalan menikung mana yang harus kutuju? sedangkan mata
hati kau bawa ke seberang laut dan dengan angin asin
yang tersangkut di selimut kau suruh aku menujumu

tak akan ada selasa yang mengganggu lagi, sebab hari
akan sama adanya. ketakutan telah kubenam di kampung
selebihnya kumuarakan ke danau (tempat kita duduk-duduk
lalu sepasang kumbang mengganggumu)

masihkah kau menyukai warna merah? ah, sementara
aku di simpang masih sempat bertanya gila,
bertolaklah pulang, badanku sedang di simpang sawahan

Kandangpadati, 2008



Tahun Kecil

rambutmu yang terurai, ingin aku mengepangnya
ke arah selatan pantai yang sesak perkabungan
dan ingin juga aku menyulamkan ratusan cadik berwarna
sampai rambutmu tak berterbangan lagi dicium badai
(badai yang seringkali
membangunkanmu di parak siang)

mari menyulam rambutmu dengan cadik, adinda
mungkin akan mengingatkanmu pada tahun kecil
di mana kau ingin berterbangan di atas asin laut
bersama bunga kapas yang tumbuh dalam tidurmu
(mengingatnya
mengembalikan inginku untuk pulang)

Kandangpadati, 2007



Nyanyi Sunyi

gemerisik daun dan gebalau angin
kangen terbengkalai di balik jarak
adalah nyanyian sunyi para peladang.
serupa perempuanku, memendam buncah jantung
dengan ucapan sakit paling garang. “berangkatlah,
masih banyak kapal ke padang!” begitulah ucap
tinggal ucap. sedangkan kau berusaha membenam
ingatan di tiap suapanmu

di pulau lama, diri akan mengembali sendiri
sebab aku hanya pemuisi yang lupa merapal jarak
maka ingatlah sepatah kata sakit ini “bahwasanya
aku telah berupa bengkalai tangis dalam matamu”

Padang, 2008



Puisi Kecil

puisi-puisi kecil
yang dikirim angin lembah harau
menyertai kau,
melepas gagau,
dalam beragam risau

moga kau ingat sebuah pagi dimana cuaca
melembabkan tampang-tampang padi. sebait saja
ini puisi baca dalam hati.
agar suatu kali kau menginginkan lagi
bermalam di pondok ladang
dan makan dialas daun pisang

2008



Cangkang

begitu desau biola lembab itu
disapu habis bulan yang basah
maka terlantar pohon-pohon
untuk melebarkan daunnya
di luar masih basah,
lembab juga belum tentu
bakal menetaskan
telur-telur ingatan kita

yang terpaut dalam cangkang cuaca
yang makin asing bermain selimut.
aku menginginkan sepi yang dulu,
bahkan berkali-kali sepi
berikanlah,

tapi bukan sepi telur
dalam cangkang di musim basah.

Kandangpadati, 2008



Perimba

lelaki perimba tiba dari basah selatan
membesuk ingatan yang tertinggal
mirip getah damar.
atau ingin menurunkan kapal yang disangkut
dulu di batang besar? ah, hebatnya kenangan
bermain di sela-sela jari, di bungkahan dada berisi
ia lelaki yang menari dalam jambangan
berkumur pedas tembakau hutan
dengan merah gigi, dengan merah bibir
yang disumbat gelungan daun nipah
ia menjadi si pembakar diri
dalam sebuah perhelatan yang dinamai pinangan:
adakah yang datang selain beruk, mungkin juga
celeng yang tersungkur di lubang galian?

ia perimba yang ingin lindap di kerumun belukar
dulu telah disuruh menanam cempedak
biar bisa digulai orang sekampung
malah menjuluk bebuah masam yang condong
ke parak orang

Kandangpadati, 2008



Kenanglah

gedebur ombak puruih, kenanglah
di senja yang menyimpan peristiwa pantai
serupa cadik yang membenam kisah pelabuhan
kota yang digarami angin-angin perantauan
membuat sekian liku pada pasir jejalanan

“dirimukah yang bercinta dengan teluk?’
malam memasang sayap untuk senja
orang-orang melepas kenangan dengan cepat
sehempas buah-buah meriam melepas hangat
kenangan yang kandas,
mabuk dalam diam

gedebur ombak puruih, kenanglah
di senja yang menyimpan peristiwa pantai
serupa parit batas kota yang dijauhi bunga ilalang
kenanglah, pun bila tak merindu
(perihal muara jumpa yang tersakiti.
ah, bangunan tua itu
juga sempat menikami pergantian malam)

Kandangpadati, 2007



Penakik Getah

sungguh aku yang berdandan
serupa memoles petang gamang
dalam cahaya mulai remang
makin bertumbuh saja cupang cupang di kuduk pesisiran
dan telah mengapit tetumbuh payau yang berbagai tangkai
sepanjang cuaca dan bahkan sekian lama
tertanam di antara runtunan bebuah katulistiwa
aku yang tak sempat lagi menyebut sesiapa
yang bergumam beriring serak suara segala malam
tertuang dalam sekian lama perang di badan
hingga yang tertelungkup bukan lagi kalah

sungguh aku yang meluka dalam sayatan
dikepal musim luka kayu yang timbul getah
hujan lama menuai gelisah penakik
cuma bau karet kering lekat di badan
hingga mereka mulai menghitung jejak padam
dalam pandam tempat orang orang kalah tersemayam

2007



Pulang

benar tak ada jalan untuk pulang?
aku hanya pamit sebentar menjenguk mimpi
yang semalam tertinggal di taman kota.
sebentar saja,
kalau tak pintu biar jendela itu kau buka
aku janji tidak pulang larut.

2007

Tidak ada komentar:

A. Mustofa Bisri A'yat Khalili Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Wachid B.S. Abi N. Bayan Abidah El Khalieqy Acep Syahril Acep Zamzam Noor Adi Toha Adrian Balu AF Denar Daniar Afrizal Malna Agus Manaji Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunarto Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Maltuf Syamsury Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Ala Roa Aldika Restu Pramuli Alfatihatus Sholihatunnisa Alfiyan Harfi Ali Makhmud Ali Subhan Amelia Rachman Amie Williams Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Andry Deblenk Anggie Melianna Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anna Subekti Aprinus Salam Ariandalu S Arieyoko Ksmb Arya Winanda As Adi Muhammad Asep Sambodja Atrap S. Munir Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Badaruddin Amir Bakdi Sumanto Bambang Darto Bambang Kempling Bambang Widiatmoko Beni Setia Beno Siang Pamungkas Bernando J. Sudjibto Bernard S. Y. Batubara Binhad Nurrohmat Budhi Setyawan Budi Palopo Bustan Basir Maras Chairul Abhsar Chavchay Saifullah Cut Nanda A. D. Zaini Ahmad D. Zawawi Imron Dadang Afriady Dadang Ari Murtono Daisy Priyanti Daysi Priyanti Dea Anugrah Dea Ayu Ragilia Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Desti Fatin Fauziyyah Dewi Kartika Dharmadi Diah Budiana Diah Hadaning Dian Hartati Didik Komaidi Dimas Arika Mihardja Djoko Saryono Dody Kristianto Dorothea Rosa Herliany Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dwi S. Wibowo Edy Lyrisacra Effendi Danata Eimond Esya Eka Budianta Eko Hendri Saiful Eko Nuryono El Sahra Mahendra Ellie R. Noer Elly Trisnawati Emha Ainun Nadjib Endang Supriadi Endang Susanti Rustamadji Eny Rose Eppril Wulaningtyas R Esha Tegar Putra Esti Nuryani Kasam Etik Widya Evi Idawati Evi Melyati Evi Sefiani Evi Sukaesih Fadhila Ramadhona Fahmi Faqih Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fanny Chotimah Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fati Soewandi Fatimah Wahyu Sundari Fauzi Absal Felix K. Nesi Fikri MS Fina Sato Firman Wally Fitrah Anugerah Frischa Aswarini Gampang Prawoto Ghaffur Al-Faqqih Gita Nuari Gita Pratama Goenawan Mohamad Gunawan Maryanto Gunoto Saparie Gus tf Sakai Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamid Jabbar Hari Leo Haris del Hakim Hasan Al Banna Hasan Aspahani Hasta Indriyana Helga Worotitjan Heri Latief Heri Listianto Heri Maja Kelana Herlinatiens Hudan Hidayat Hudan Nur Ibnu Wahyudi Ikarisma Kusmalina Ike Ayuwandari Ilenk Rembulan Imam S Arizal Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Iman Budi Santoso Imron Tohari Indah Darmastuti Indiar Manggara Indra Tjahyadi Indrian Koto Isbedy Stiawan ZS Iwan Gunadi Javed Paul Syatha Jibna Sudiryo Johan Khoirul Zaman Johannes Sugianto Joko Pinurbo Joko Saputro Jufri Zaituna Jusuf AN Kadek Wara Urwasi Kadjie Bitheng MM Kartika Kusworatri Kedung Darma Romansha Kika Syafii Kirana Kejora Kirdjomuljo Kurnia Effendi Kurniawan Junaedhie Kurniawan Yunianto Kusprihyanto Namma Kuswaidi Syafi’ie L.K. Ara Lailatul Muniroh Landung Rusyanto Simatupang Lela Siti Nurlaila Liestyo Ambarwati Khohar Lina Kelana Linda Sarmili Linus Suryadi AG Liza Wahyuninto Lubis Grafura Lutfi Mardiansyah M. Badrus Alwi M. Faizi Maghfur Munif Maghie Oktavia Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maman S. Mahayana Maqhia Nisima Marcellus Nur Basah Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marwanto Mas Marco Kartodikromo Mashuri Mathori A. Elwa Matroni el-Moezany Maya Mustika K. Mega Vristian Miftahul Abrori Mohammad Yamin Muhammad Ali Fakih Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muntamah Cendani Mustiar AR Mustofa W Hasyim Mutia Sukma Nadjib Kartapati Z Nanang Suryadi Nezar Patria Ni Made Purnama Sari Ni Made Purnamasari Ni Putu Destriani Devi Noor Sam Nunung S. Sutrisno Nur Iswantara Nur Lodzi Hady Nur Wahida Idris Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Nyoman Tusthi Eddy Nyoman Wirata Pariyo Adi Pringadi AS Pringgo HR Puisi-Puisi Indonesia Purwadmadi Admadipurwa Puspita Rose Putri Sarinande R. Toto Sugiharto Rachmat Djoko Pradopo Raedu Basha Ragil Suwarno Pragolapati Rakai Lukman Rama Prabu Ramadhan KH Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Ribut Wijoto Rikard Diku Robin Al Kautsar Rozi Kembara Rudi Hartono Rusydi Zamzami S Yoga Sahaya Santayana Saiful Bakri Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Selendang Sulaiman Seli Desmiarti Sigit Sugito Sihar Ramses Simatupang Siska Afriani Sitok Srengenge Sitor Situmorang Slamet Rahardjo Rais Slamet Widodo Sosiawan Leak Sreismitha Wungkul Sri Harjanto Sahid Sri Jayantini Sri Setya Rahayu Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sumargono SN Suminto A. Sayuti Sunardi KS Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Sutirman Eka Ardhana Syifa Aulia Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Ranusastra Asmara Teguh Triaton Tengsoe Tjahjono Tharie Rietha Thowaf Zuharon Timur Sinar Suprabana Tita Maria Kanita Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto TS Pinang Ulfatin Ch Umbu landu Paranggi Unieq Awien Usman Arrumy W. Haryanto W. Herlya Winna W.S. Rendra Wahyu Hidayat Wahyu Subuh Warih Wisatsana Wayan Sunarta Weni Suryandari Widi Astuti Wiji Thukul Winarni R. Y. Wibowo Yonathan Rahardjo Yosi M Giri Yudhi Herwibowo Yudhiono Aprianto Yurnaldi Yusri Fajar Yusuf Suharto Yuswan Taufiq Yuswinardi Zaenal Faudin Zainal Arifin Thoha Zamroni Allief Billah Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae