1.
Itulah ular yang kau gambar tempo hari
dan diberi nilai delapan oleh ibu guru
: ular itu bernama Siapa Saja
bisanya luar biasa
Ialah yang telah menggoda bapa adam
dan ibu hawa di perkebunan karet
kaki bukit itu, seperti kata mereka
Ialah ular yang melilit melingkar tubuh
saudaramu tatkala mengembara
di samodra, mencari perwitasari tirta
Ialah yang dijadikan kalung dan gelang
oleh para penggembala kerbau di padang-
padang rumput dataran itu
Ialah yang bakal menyabotmu kelak
di tengah palagan, tatkala engkau
bertanding melawan abang tertua
yang terpisah denganmu sejak kecil
lantaran kehormatan yang disia-siakan
Hati-hatilah
karna tatkala engkau lena dalam
mimpi berkepanjangan nanti
ia bakal masuk dan mengendon dalam dasar
sanubarimu paling dalam. Jangan sampai
kau berkeinginan memiliki dan memeliharanya
2.
Dan ini adalah kijang
larinya luar biasa, warnanya keemasan
juga bernama: Siapa Saja
ialah yang telah menggoda kakak iparmu di
belantara itu, dan kau menanggung akibatnya
dituduh menyiakan kepercayaan. Itu terjadi
dulu. Seabad yang lalu. Umurmu baru angan-angan
Ialah yang kau bunuh di padang itu
kau ambil dagingnya untuk istri
yang lagi nyidam
Jangan sampai kau berkeinginan memelihara
hidup-hidup karena ia sangat kencang larihnya
kau bakal kewalahan
3.
Dan ini adalah gajah
kekuatannya luar biasa, juga
bernama: Siapa Saja
Ialah yang berhasil menyobek dengan gadingnya,
bungkus kelahiran saudaramu di rimba itu
Ialah yang ingin kau pelihara dalam
kandang di samping rumah
tapi hati-hatilah, jangan sampai
kau terbujuk dan mau dengannya
4.
Selamat tidur
semoga mimpi indah
Yogyakarta, 1983
MALAM TAMANSARI
Penjaga malam itu datang tatkala rembulan
jatuh di pundak tembok temugelang. Aku pun
bergegas masuk ke dalam mata cincin di jari
manismu, nimas. Orang-orang ribut, “Malingsakti,
malingsakti, di mana engkau sembunyi”.
Keraguan muncul menyelimuti kalbumu. “lepas
Dan berikan buat tumbal-pageblug negeri, Pipi
ini lebih nikmat dielus telanjang jari. “Aku pun
bergegas sembunyi di ikat sanggul rambutmu.
Engkau pun bergegas berbisik, “Malinghati, malinghati,
Kepadamu selamanya aku bakalan mengabdi”. Lalu sepi.
Penjaga malam itu pergi tatkala rembulan jatuh
di pundak tembok temugelang. Aku pun bergegas
keluar dari persembunyian. “Surikanti, Surtikanti,
lelaki sejati tak pernah cidra ing janji”. lalu sepi.
Pakem, 1989
http://sastra-indonesia.com/2009/01/puisi-puisi-suminto-a-sayuti/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar