http://sastrakarta.multiply.com/
SURAT-SURAT UNTUK BERKACA
Dan dunia telah dibenamkan para raksasa
ke dasar benua. Laut berlumpur hitam
menghisap cahaya dari cincin matahari
mengaduk luka dan air garam
dalam bencana yang tak pernah selesai
Doa dan dupa, mantra dan sesaji
tak juga sampai ke langit tinggi
menggumpal di udara kelam
bagai awan yang gagal menjadi hujan
tubuh dan jiwa bersembunyi dalam keluh
berpisah diri dengan semesta paling inti
113 surat dalam kitab keabadian
menuliskan martabat cinta
bagi manusia yang berkaca. Bacalah! Bacalah!
2001
SENJA DI ATAS MENARA
Dan bergeraklah senja. Fasabbih, fasabbih!
menyeberangi segala sungai yang mendidih
Matahari berambut pirang, mengirim usia di perbatasan
tangan-tangan saling berebut bagai puncak menara
dalam remang, menjulurkan rasa takut
di antara gema adzan, ayat suci dan panggilan maut
yang bergulung menuju pelangi di langit baka
Maka badai tak kunjung reda untuk berdoa
dan kembali ke dalam mimpi yang lebih purba
Kemarilah wahai pedang khalifah. Tebas leherku!
nyalakan api neraka yang telah padam
di sekujur tubuhku. Bakarlah semua gairah
sampai surga menjadi kosong dalam darahku
dan dunia tak lagi pilu kepompong batu
2002
KERTAS PUTIH PENYAIRKU
Buka mata tulipmu! dan ceraplah warna tinta
sampai huruf dan kata-kata menjadi sirna
Dari pelipis kirimu, kertas putih menari
berpendaran bagai batu-batu granit
penuh beban: meja marmer yang pecah
patahan tulang, gigi palsu dan rambut perak
terlempar dari tempat asalnya
di udara fana. Setitik embun menguap
dan sembahyang bersama terik matahari
tapi jiwamu masih saja pengap dan beku
walau musim semi telah menyergapmu
Maka berlarilah engkau, wahai penyairku
Fafirru, fafirru! Kitari sumbu api di dekat jantungmu
2002
KUKIRIMKAN MAWAR CINTA
Aku ingin kembali menjadi bayi
menyusu rindu pada puting abadi
Seperti angin lalu pada setiap musim
kukirimkan mawar cinta
ke dalam rahimmmu. Wahai kekasihku!
sepenuh waktu aku berdoa dan mengaji
di gigir malam paling sunyi
kubiarkan bintang-bintang berlayar
mendayung perahu
menuju muara tak bertepi
Kulintasi api dan cahaya!
mendaki rindu di bukit cinta
2003
WAKTU DOA DI PAGI BUTA
Waktu doa di pagi itu, di antara lumut hijau yang beku
aku terbangun dan gagap, kata-kata jadi lenyap
tak ada lidah untuk bertanya pada segala
kenapa gempa dan ombak itu bergolak
menangkup rahasia el-maut di tengah kota
Lalu aku berenang di sela batu karang
mengembangkan sirip waktu dan kesaksian
seperti ikan mencari cahaya di tengah gelombang
ketika air garam mengencangkan otot-ototnya
menjalarkan rasa perih ke seluruh tubuhku
sampai aku tak berdaya di gigir pelabuhan
mendengar gema adzan dari pucuk pepohonan
Dan subuh telah berpisah dengan matahari
gelegar badai menggulung perkampungan
juga lembah dan daratan di sepanjang pantai
berjuta luka menjerit dalam kegaduhan
jiwa-jiwa mengukuh di antara benda yang rubuh
lalu berdiri dan berdoa untuk terakhir kali
O laut biru, sungai biru
dzikir air yang mengalir
bawalah syahadat kami
menuju langit Yang Tinggi
Begitu cepat, serupa kilat menembus gelap
kematian berguling dari lantai ke dinding
jasad-jasad berbaur dengan lumpur
mengaduk rasa pilu di bumi subur
cinta, derita dan airmata
membawakan mawar pada semua
sampai cahaya kembali bersinar
di atas kubah dan menara
Masih adakah tasbih laut-mu
untuk mengenang doa terakhir di pagi itu?
2005
WAKTU API MEMBAKAR RINDU
Engkau api dan hujan di musim semi
Waktu api membakar rindu
separuh tubuhku jadi belerang
arwah cinta bangkit kembali dari kuburan
mengirim bangkai para pengkhianat
dalam tengkorakku, dada merah jambu
jenjang leher angsa penuh bulu
menari bagai panas tanpa bayangan
meremuk daging dan tulang nafsu
antara tidur dan mimpiku
Engkau api dan hujan di musim semi
Waktu hujan menyiram rindu
separuh tubuhku menjadi ladang
tempat bersemi segala pujian
tak ada cinta yang berjamur di dada
kalimat tanpa jasad, pohon dan bunga
mencari jejak semesta di tengkukku
daun-daun menghijau dalam keemasan
menanggalkan duri dari tangkainya
antara hidup dan matiku
Engkau api dan hujan di musim semi
matamu kilat menembus dinding batu
keringatmu parfum sepanjang hari
separuh jiwaku menjadi abu
separuhnya lagi jadi tanaman
2006
LAYAR KOSONG
Aku mati jadi mineral
ruh pun berlayar
menuju ke tempat asal
Kecapi abad tak terdengar lagi
lenyap segala dalam riuh dunia
bangkai-bangkai babi
sejarah satu mata
jadi beban di bumi
Anak bangsa bermimpi
terbang tanpa sayap
munuju ke langit tinggi
melintasi gugusan asap
pulau-pulau dan hutan api
mencari jejak katulistiwa
dalam neraka lima benua
Layar kosong
kata-kata gosong
penyair pergi
menyusur kolong
di negeri sendiri
Rubuh kota dalam gempa
raga dan jiwa berpelukan
mencari silsilah keabadian
2006
DOA SEPASANG GANGGANG
Seperti batu dibanting rasa cemburu
anak cintaku terguling dari ayunan
menyulut jerami di antara tidur dan jaga
hingga asapnya memenuhi pipa paru-paru
dalam dadaku – sepasang rusuk mahligai
menilap radang kata dari lembaran buku-buku
Satu menghilang di cermin
mendekap bayangmu tanpa yang lain
dari mula sampai akhirnya
Aku pun mengaji dan keluar dari lubang jeruji
menjadi tukang las di gerbang pintu rumahmu
menyambung ruas baja dan potongan besi
dari masa lalu – leleh keringatku kolam ikan
tempat berenang sepasang ganggang
menjaga rinduku sepanjang siang dan malam
mengusap airmata doa – mengucap doa airmata
Lalu gerimis menghilang di udara fana
tak ada gunanya pipi lembab dan batu nisan
jika tangis bergema hanya sampai telinga
Maka kulepas gelembung duka itu dari semestamu
dari lingkaran usus duabelasjari di lambungku
saat cinta mengikat kembali sayap-sayapnya
di punggung rindu – aku berdiri tanpa beban
memanggul kenangan dari segala penderitaan
berjalan dan terus berjalan di sisimu selamanya
Apalagi yang masih sembunyi -- kekasih!
sebab jejakmu telah tergambar di telapakku
dan darahmu juga mengalir dalam resahku
2007
ORANG PESTA DI BALIK PUNGGUNGMU
Kilat pedangmu menusuk dadaku
berulangkali – aku tersungkur dan berdiri
meliuk bunga matahari tanpa angin
sendiri – membentang pelangi
rajah senja di halaman rumahmu
Mengucur juga akhirnya darah cintaku
merembes ke tanah jadi bayangmu paling indah
Dan biarkan luka itu menganga
bagai mulut si bayi merindukan airsusu ibunya
di ceruk malam – mengisap cahayamu
sampai bulan dan bintang terasa ngilu
sekujur tubuhku – tisikan tato menghitam
Lalu aku bermimpi orang pesta di balik punggungmu
menyantap gulai dari jantung dan hatinya sendiri
Hutan dan taman terbakar – anak waktu terkapar
barisan asap merapat – mengusung lencana
dari ruang diskotik dan kamar mayat
kakek nenek mati bersama – para pahlawan
menjelma arang dalam tungku perapian
Kembali nyeri dadaku membaca surat-suratmu
mengeja kata cinta yang berkilat di langit senja itu
2007
BULAN PECAH DI KOTAKU
langit kaki
bulan pecah di kotaku
Gerak bumi menggerus dinding batu
menyusuri jejak kaki rumah-rumah tua
di antara kilat dan cahaya kematianku
kapak berayun
membelah dada kegelapan
Darah putih menyembur ke empat penjuru
menggulung perihku tanpa gugusan bintang
seratus tahun menghilang dari gundukan waktu
keluh berbaris
mengusung keranda tubuh amis
Kubur-kubur menganga seperti jalan berlubang
saat sunyi memburu bayangku di tengah malam
dari kekosongan menuju kekosongan
sembarang mimpi
di atas ranjang kawat berduri
Lalu surut menggigil dalam selimut warna bunga
rasa pahit butrowali menjelma gula di lidahku
betapa manis duka itu jika ditelan bersama getahnya
2007
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A. Mustofa Bisri
A'yat Khalili
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Wachid B.S.
Abi N. Bayan
Abidah El Khalieqy
Acep Syahril
Acep Zamzam Noor
Adi Toha
Adrian Balu
AF Denar Daniar
Afrizal Malna
Agus Manaji
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunarto
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Maltuf Syamsury
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Ala Roa
Aldika Restu Pramuli
Alfatihatus Sholihatunnisa
Alfiyan Harfi
Ali Makhmud
Ali Subhan
Amelia Rachman
Amie Williams
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Andry Deblenk
Anggie Melianna
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anna Subekti
Aprinus Salam
Ariandalu S
Arieyoko Ksmb
Arya Winanda
As Adi Muhammad
Asep Sambodja
Atrap S. Munir
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
Badaruddin Amir
Bakdi Sumanto
Bambang Darto
Bambang Kempling
Bambang Widiatmoko
Beni Setia
Beno Siang Pamungkas
Bernando J. Sudjibto
Bernard S. Y. Batubara
Binhad Nurrohmat
Budhi Setyawan
Budi Palopo
Bustan Basir Maras
Chairul Abhsar
Chavchay Saifullah
Cut Nanda A.
D. Zaini Ahmad
D. Zawawi Imron
Dadang Afriady
Dadang Ari Murtono
Daisy Priyanti
Daysi Priyanti
Dea Anugrah
Dea Ayu Ragilia
Dedy Tri Riyadi
Deni Jazuli
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Desti Fatin Fauziyyah
Dewi Kartika
Dharmadi
Diah Budiana
Diah Hadaning
Dian Hartati
Didik Komaidi
Dimas Arika Mihardja
Djoko Saryono
Dody Kristianto
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Pranoto
Dwi Rejeki
Dwi S. Wibowo
Edy Lyrisacra
Effendi Danata
Eimond Esya
Eka Budianta
Eko Hendri Saiful
Eko Nuryono
El Sahra Mahendra
Ellie R. Noer
Elly Trisnawati
Emha Ainun Nadjib
Endang Supriadi
Endang Susanti Rustamadji
Eny Rose
Eppril Wulaningtyas R
Esha Tegar Putra
Esti Nuryani Kasam
Etik Widya
Evi Idawati
Evi Melyati
Evi Sefiani
Evi Sukaesih
Fadhila Ramadhona
Fahmi Faqih
Faizal Syahreza
Fajar Alayubi
Fanny Chotimah
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fati Soewandi
Fatimah Wahyu Sundari
Fauzi Absal
Felix K. Nesi
Fikri MS
Fina Sato
Firman Wally
Fitrah Anugerah
Frischa Aswarini
Gampang Prawoto
Ghaffur Al-Faqqih
Gita Nuari
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Gunawan Maryanto
Gunoto Saparie
Gus tf Sakai
Halimi Zuhdy
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hari Leo
Haris del Hakim
Hasan Al Banna
Hasan Aspahani
Hasta Indriyana
Helga Worotitjan
Heri Latief
Heri Listianto
Heri Maja Kelana
Herlinatiens
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Ibnu Wahyudi
Ikarisma Kusmalina
Ike Ayuwandari
Ilenk Rembulan
Imam S Arizal
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Iman Budi Santoso
Imron Tohari
Indah Darmastuti
Indiar Manggara
Indra Tjahyadi
Indrian Koto
Isbedy Stiawan ZS
Iwan Gunadi
Javed Paul Syatha
Jibna Sudiryo
Johan Khoirul Zaman
Johannes Sugianto
Joko Pinurbo
Joko Saputro
Jufri Zaituna
Jusuf AN
Kadek Wara Urwasi
Kadjie Bitheng MM
Kartika Kusworatri
Kedung Darma Romansha
Kika Syafii
Kirana Kejora
Kirdjomuljo
Kurnia Effendi
Kurniawan Junaedhie
Kurniawan Yunianto
Kusprihyanto Namma
Kuswaidi Syafi’ie
L.K. Ara
Lailatul Muniroh
Landung Rusyanto Simatupang
Lela Siti Nurlaila
Liestyo Ambarwati Khohar
Lina Kelana
Linda Sarmili
Linus Suryadi AG
Liza Wahyuninto
Lubis Grafura
Lutfi Mardiansyah
M. Badrus Alwi
M. Faizi
Maghfur Munif
Maghie Oktavia
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Maman S. Mahayana
Maqhia Nisima
Marcellus Nur Basah
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Marwanto
Mas Marco Kartodikromo
Mashuri
Mathori A. Elwa
Matroni el-Moezany
Maya Mustika K.
Mega Vristian
Miftahul Abrori
Mohammad Yamin
Muhammad Ali Fakih
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muntamah Cendani
Mustiar AR
Mustofa W Hasyim
Mutia Sukma
Nadjib Kartapati Z
Nanang Suryadi
Nezar Patria
Ni Made Purnama Sari
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Destriani Devi
Noor Sam
Nunung S. Sutrisno
Nur Iswantara
Nur Lodzi Hady
Nur Wahida Idris
Nurel Javissyarqi
Nurul Komariyah
Nyoman Tusthi Eddy
Nyoman Wirata
Pariyo Adi
Pringadi AS
Pringgo HR
Puisi-Puisi Indonesia
Purwadmadi Admadipurwa
Puspita Rose
Putri Sarinande
R. Toto Sugiharto
Rachmat Djoko Pradopo
Raedu Basha
Ragil Suwarno Pragolapati
Rakai Lukman
Rama Prabu
Ramadhan KH
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Ribut Wijoto
Rikard Diku
Robin Al Kautsar
Rozi Kembara
Rudi Hartono
Rusydi Zamzami
S Yoga
Sahaya Santayana
Saiful Bakri
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Selendang Sulaiman
Seli Desmiarti
Sigit Sugito
Sihar Ramses Simatupang
Siska Afriani
Sitok Srengenge
Sitor Situmorang
Slamet Rahardjo Rais
Slamet Widodo
Sosiawan Leak
Sreismitha Wungkul
Sri Harjanto Sahid
Sri Jayantini
Sri Setya Rahayu
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sumargono SN
Suminto A. Sayuti
Sunardi KS
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryanto Sastroatmodjo
Sutirman Eka Ardhana
Syifa Aulia
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Triaton
Tengsoe Tjahjono
Tharie Rietha
Thowaf Zuharon
Timur Sinar Suprabana
Tita Maria Kanita
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
TS Pinang
Ulfatin Ch
Umbu landu Paranggi
Unieq Awien
Usman Arrumy
W. Haryanto
W. Herlya Winna
W.S. Rendra
Wahyu Hidayat
Wahyu Subuh
Warih Wisatsana
Wayan Sunarta
Weni Suryandari
Widi Astuti
Wiji Thukul
Winarni R.
Y. Wibowo
Yonathan Rahardjo
Yosi M Giri
Yudhi Herwibowo
Yudhiono Aprianto
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yusuf Suharto
Yuswan Taufiq
Yuswinardi
Zaenal Faudin
Zainal Arifin Thoha
Zamroni Allief Billah
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
2 komentar:
Bumi sedang menunggu keruntuhannya,sebesar apa pun sesaji kita sudah tak mampu merobek takdir yang kuasa,ini adalah bayaran yang harus diterima dengan tangan terbuka,dan saat yang tepat untuk mengakui bahwa kita bersalah pada bumi yang dahulu memberi cinta,ia kecewa karena dusta kita,ia marah akan kemunafikan kita,hapus luka dihati sang bumi, walau mungkin semuanya telah basi. namun tunjukan bahwa kita akan berbakti di sisa waktu bumi.wsa
Manusia yang mengatur, manusia yang menghancurkan semua berawal dari keserakahan, sudah saatnya Manusia berbagi kepada sesama dan alam sekitar, jangan menyalahkan Tuhan karena Ia diam atas setiap kesalahan yang dilakukan. Dimana tanggung jawabmu manusia, setiap kali berkata ini semua kehendak Tuhan.
Posting Komentar