http://www.sastra-indonesia.com
http://www.facebook.com/people/Eimond-Esya/1345467895
Lotus
(I) Seperti pelacur perawan. Dikepalamu Mahkota anyaman
ranting dan daun-daun zaitun melingkar. Di belakangmu
seekor Phoenix membentangkan sayap. Dua bayi bertubuh
monyet. Menggenggam trisula. Menjagamu tidurmu.
Demikian aku melihatnya. Ratusan tahun yang lalu. Ketika
kata-kata dan kebijaksanaan lebih sedikit dari jumlah telur naga.
Kau mengkudeta syair seorang penujum uzur dan kemudian
dilamar Midas. Memilih nurbuat yang bisa disentuh jadi emas.
Tapi kau memilih nasibmu sendiri. Sebuah telaga payau.
Yang paling hijau pekat. Tempat klorofil luntur. Dari jutaan
Lumut yang gugur. Disana kuncup-kuncup baru jantung bertunas
Tanpa harus kelaparan. Atau hilang ingatan. Saat sebuah kail
dicelupkan. Kau selalu timbul. Keluar dari kekudusan.
Dan sebutir kebijaksanaan kau lesatkan dari kedalaman
(II) Sebuah peringatan. Seperti ubun-ubun seekor paus.
Membersinkan bubuk kristal garam. Terlontar seperti peluru
sonar. Cambuk api yang melecut angkasa. Sebuah isyarat agar
Pesta dimulai. Kura-kura menyembulkan kepala. Rokok di mulut.
Nikotin asap dupa, manequin pengidap lepra. Buntung lengan
buntung kelamin menanggalkan busana. Punggung Lampu
ditumbuhi punduk. Cinta, cinta, cinta. Sepi, sepi sepi dituliskan
dengan menghentakkan kaki. Stalagnit jatuh gigi susu tumbuh.
Satu per satu. Sadu demi satu. Lalu kau tertawa. Menemukan
rantai roda gempa. Dengan telunjukmu kau putar geligi susu itu
Sampai pesta ini oleng. semakin mabuk semakin khusyu
Telah kau bayangkan sebuah dunia baru. Selat tertutup lenyap
Dan muara hanya tinggal lumpur kata-kata. Laut jadi telaga.
Tak ada yang terasing. Dalam hanya satu taman maha besar.
(III) Mungkin, hanya keyakinan. Bahwa semua ini hanyalah tipuan
Aku pernah mengatakannya. Bahwa dunia hanyalah buih besar
Dan perasaan adalah kain yang dicelupkan kedalam airmata Tuhan
Demikian pula, Jibril tak pernah berjanji pada nabi manapun.
Mungkin saja, ayat berikutnya dititipkan pada syair Rock and Roll.
Atau pada seorang pujangga hydrocepalous. Dalam resep janda-janda
thypus. Kita hanya perlu telinga yang lebih besar, sebuah
Cerobong asap. Jelaga kesakitan ini, tinggal kita beri ampul imunisasi
Siapa yang menentukan? Siapa yang lebih tahu? Bahwa waktu
Memang benar-benar berlalu? Atau ia diam dan kita yang sebenarnya
Pemburu? Kematian, kehidupan, beludru hitam tercukur diantaranya?
Hanya kesenduan, dan tak perlu kau sesali. Jika suatu saat nanti
lotus telaga ini jadi sepi, dan dunia berakhir dengan sebuah kiamat.
Tanpa sesuatu apapun yang rubuh luluh lantak dan hancur, kecuali:
Dirimu.
_______
E.E 2009
Matematika
Kukira, tubuhku hanyalah dua belas rusuk kubus
Konstruksi yang dibangun dari tulang-tulang putus
dan diagonal urat yang tak sama panjang. Penuh engsel
dan geometri model. Peralatan yang terlalu lemah untuk
membangun peradaban. Sejak sebuah angka dibolongi
taring seekor kupu-kupu
Sejak itu Kukira, aku juga hanya butuh sebuah
Tempurung yang lebih keras. Untuk kepalaku sendiri.
Hingga kau tak akan mampu menggedorku. Meski
dengan ayunan godam. Karena aku tidak belajar apapun
dari sebatang paku. Maupun sebuah simpul mati.
Berikan padaku sebuah trauma. Maka akan kutumpukan
Kaki dimensi di sana.
Selebihnya, saksikan saja pembuktianku. Kan ku bawa kau
keluar dari tubuhmu sendiri. Melakukan dosa sampai kau
menemukan sebuah Agama. Atau silahkan saja kau tetap
jadi matematika. Lihatlah, Kupu-kupu itu mulai meronta
demikian indahnya, dan kukira berikutnya, sesudah ini
dari celah bolong itu
Neraka akan
berdebam
ke dunia.
Dalam sebutir -yang mungkin masih akan kau kira-
apel merah menyala.
________________
E.E, 2009
Galaxies
Diunggah melalui Facebook Seluler
Tiba-tiba kau menetes dari sebuah lobang di langit malam
Mendung panas dan penuh racun. Listrik megalitikum
Badai yang takkan mungkin menyentuh gaunmu
Lapisan kain nan semurni bening selaput telur katak
Yang diperam garam-garam dalam lautan purba
Ku lihat sebuah teluk surut, dan ombak-ombak dibawah
matahari muda melepaskan diri dari pelukanku.
Ketika itu senja adalah sebuah hari dan bintang-bintang masih
demikian rendahnya. Seperti ujung-ujung api lilin ulang tahun
seorang remaja. Kau bisa saja menghembusnya hingga padam
Karena usia belum ditandakan, dan Tuhan masih sendirian
Namun sebuah taman telah berdiri di bibir tebing paling tinggi
Aku tepakur memahamimu. Dengan bola mataku
Yang terlihat seperti dua bulan putih susu.
Menyaksikan peri angin tiba-tiba membugili tubuhnya sendiri.
Gravitasi menarik nafas sebelum untuk pertama kalinya
menyelam ke dalam samudera. Ombak-ombak bergerak
maju sementara teluk semakin surut. Mendung membarakan
gelegak Nebula. Kelejat racun dan listrik memecut bola mataku.
Kusaksikan pula kemudian daratan dipahat pasang dan lahar.
Dan nasib air ditentukan saat itu juga. Semuanya akan
menjadi uap dan akhirnya lenyap seperti usia.
Kemudian yang tersisa hanya sebuah penjara. Belukar dan
kelenjar yang mulai tumbuh liar. Semak biru, kecil, mungil dan
damai. Seekor katak tiba-tiba melompat ke dalamnya.
Seorang pelayan telah mencatat semua pesananku, dan
sebenarnya telah kutitipkan dirimu padanya. Pada gugus
baru bintang-bintang di hadapan kita ini.
Karena seekor kera bungkuk sepertiku, harus menemukan
tempatnya sendiri. Memanggul semua sepi, memasuki goa
yang lebih luas dan kelam, meringkuk di dalamnya
Tersedu, bertepuk,
mengangguk.
___________
E.E, March 09
At Airport
Perjalanannya begitu singkat dan tiba-tiba kau terhenti di hamparan panjang ini.
Turbin kendur dan angin mendadak redup sebelum sempat menamparmu
Tapi pipimu tetap bergetar. Oleh kenanganmu yang kemudian melemah
Seperti bulu-bulu layu. Di pinggir landasan pacu, kau lihat rumput-rumbut bungkuk
Dan bunga dengan kelopak renta dikalungkan. Lehermu mencapai gerbang
selamat datang. Sebuah belalai terjulur. Lobang hidungnya lobang hitam
yang menyambut, dan menghisap dan menghabisimu dalam sekali sedak .
Sunyi.
Adalah segumpal dahak. Atau teori penghancuran alam raya.
Kemudian kau mulai berjalan. Menapaki koridor itu. Menyeret ekormu ke sebuah
ruang tunggu. Di atas tempat tidur yang asing dan masih berbau asin. Nanti akan
kau kibas-kibaskan ekor itu seperti seekor anjing senang sambil mengunci tusukan
Penuh rindumu. Seorang kapten berahang keras, bermata elang mendaratkan
mu dengan sempurna dari kepungan ruang hampa. Waktu tergenang di sepanjang
Koridor berikutnya. Langkahmu melayang. Punggungmu melepaskan diri
dari cahaya ungu. Diantara orang- orang yang bergerak maju dan berjalan mundur.
Menyeret ekor masing-masing atau duduk santai sambil menjadikannya lawan bicara.
Di sebuah sudut sepasang lutut disimpuhkan seorang biarawati
Memesan sebuah cuaca pada Tuhan dengan doa. Air liur menyentuh dagunya.
Dibawah naungan gema bisu sebuah lonceng raksasa.
Kau menjerit gembira
Dan aku menutup telinga. Agar airmataku tak keluar dari sana. Namun kau segera
melompat-lompat dalam jantungku, berputar-putar dalam kulumanku. Dalam
dekapan ketat. Seperti bulan pada bumi bumi pada matahari matahari pada waktu
waktu yang mengembalikan segalanya pada keheningan. Kitapun tenggelam seperti
bayi-bayi dalam kolam rahim. Mengapungkan gelembung nafas kita yang menderu
dalam riak kuning cairan ketuban. Sementara itu diluar sana kita biarkan segalanya
mendadak berhenti dan beku. Rapuh namun kukuh. Seperti patung-patung dari tepung.
Putih sempurna. Turbin kendur, Rumput-rumput bungkuk, kelopak renta bunga,
manusia-manusia berekor, kapten berahang keras, biarawati yang berdoa, Air liur
yang menyentuh dagu.
Lalu ketika semuanya kita hentikan, ada yang menyentakkan sebuah tali. Lonceng
bergema bisu itu seketika berdesing dan sebuah pesawat terbang ke angkasa luas.
Setinggi-tingginya. Liur di dagu biarawati menetes dan orang-orang kembali mencari
arahnya masing-masing.
Aku pun mengiris rahim itu. Meluncur keluar di atas hidup yang licin lalu tersungkur
dan memahami sesuatu:
Manusia mungkin hanya menjelajah dengan lidahnya. Mereka semua adalah semacam
Penjajah.
Semacam Fasis,
Fasis
Klitoris
_____________
E.E, March 2009
At Theater
Di sebuah menara terasing. Misteri meluaskan diri. Kubah tinggi, kurung dinding.
Rombongan penziarah berbaris. Mendaki ratusan kursi yang disusun serapat gigi
Sunyi duduk dengan kepala tegak. Sedingin nisan tak bergerak
Di jendela, dunia lain diciptakan. Dalam lapisan bedak para malaikat disisipkan.
Semua cahaya mampat di sana.
Aku menunggu. Bersama rencanaku yang lancang. Hidangan kisah untuk kesepian
Kata-kata kucampakkan. Di pintu masuk, hidup sesungguhnya kugantung.
Langit jingga dan awan-awan seremuk tisu lapuk. Kata-kataku meregang nyawa.
Jaket yang kukenakan terbuka.
Seseorang menarik tuas katrol. Sekelompok badut melompat.
Hidung biru senyum hitam. Tirai gelap turun sempurna
Panggung besar terbentang. Sunyi tergolek. Tersenyum lemah di atas bahuku.
Demikianlah aku berusaha meraba-raba kemana takdir melanjutkan tariannya.
Yang liar seperti gigil moncong senapan mesin menyemburkan peluru.
Seperti cinta yang menceritakan dirinya sendiri kembali sepanjang waktu.
Tanpa pernah punya kesempatan untuk kutafsirkan baik-baik
selain bergelung dan sesudahnya memasturbasi mimpi.
Tapi aku tak mampu bergelung lebih dalam lagi. Kusaksikan kemudian
Seluas mulut lapar, bayang-bayang hidup mengangakan rahang.
Sebuah parade merangkak keluar dan memulai perayaan.
Aku memekikkan terompet rencanaku yang lancang.
Mencekik ufuk agar kisah ini gagal diselesaikan.
Lalu Percikan Blitz terakhir mengerjab.
Bedakmu retak dan cairan besi meluap. Aku menjadi lebih luas, lebih keji dari misteri.
Sebuah Kutub kusentuh dan sunyi kembali tegak.
Maha magnit tercipta. Orang-orang sekarat disana. Menempel bernafas
Tapi tidak akan pernah, tidak akan pernah bisa benar-benar
benar-benar
Mati
__________
E.E 2009
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A. Mustofa Bisri
A'yat Khalili
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Wachid B.S.
Abi N. Bayan
Abidah El Khalieqy
Acep Syahril
Acep Zamzam Noor
Adi Toha
Adrian Balu
AF Denar Daniar
Afrizal Malna
Agus Manaji
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunarto
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Maltuf Syamsury
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Ala Roa
Aldika Restu Pramuli
Alfatihatus Sholihatunnisa
Alfiyan Harfi
Ali Makhmud
Ali Subhan
Amelia Rachman
Amie Williams
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Andry Deblenk
Anggie Melianna
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anna Subekti
Aprinus Salam
Ariandalu S
Arieyoko Ksmb
Arya Winanda
As Adi Muhammad
Asep Sambodja
Atrap S. Munir
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
Badaruddin Amir
Bakdi Sumanto
Bambang Darto
Bambang Kempling
Bambang Widiatmoko
Beni Setia
Beno Siang Pamungkas
Bernando J. Sudjibto
Bernard S. Y. Batubara
Binhad Nurrohmat
Budhi Setyawan
Budi Palopo
Bustan Basir Maras
Chairul Abhsar
Chavchay Saifullah
Cut Nanda A.
D. Zaini Ahmad
D. Zawawi Imron
Dadang Afriady
Dadang Ari Murtono
Daisy Priyanti
Daysi Priyanti
Dea Anugrah
Dea Ayu Ragilia
Dedy Tri Riyadi
Deni Jazuli
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Desti Fatin Fauziyyah
Dewi Kartika
Dharmadi
Diah Budiana
Diah Hadaning
Dian Hartati
Didik Komaidi
Dimas Arika Mihardja
Djoko Saryono
Dody Kristianto
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Pranoto
Dwi Rejeki
Dwi S. Wibowo
Edy Lyrisacra
Effendi Danata
Eimond Esya
Eka Budianta
Eko Hendri Saiful
Eko Nuryono
El Sahra Mahendra
Ellie R. Noer
Elly Trisnawati
Emha Ainun Nadjib
Endang Supriadi
Endang Susanti Rustamadji
Eny Rose
Eppril Wulaningtyas R
Esha Tegar Putra
Esti Nuryani Kasam
Etik Widya
Evi Idawati
Evi Melyati
Evi Sefiani
Evi Sukaesih
Fadhila Ramadhona
Fahmi Faqih
Faizal Syahreza
Fajar Alayubi
Fanny Chotimah
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fati Soewandi
Fatimah Wahyu Sundari
Fauzi Absal
Felix K. Nesi
Fikri MS
Fina Sato
Firman Wally
Fitrah Anugerah
Frischa Aswarini
Gampang Prawoto
Ghaffur Al-Faqqih
Gita Nuari
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Gunawan Maryanto
Gunoto Saparie
Gus tf Sakai
Halimi Zuhdy
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hari Leo
Haris del Hakim
Hasan Al Banna
Hasan Aspahani
Hasta Indriyana
Helga Worotitjan
Heri Latief
Heri Listianto
Heri Maja Kelana
Herlinatiens
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Ibnu Wahyudi
Ikarisma Kusmalina
Ike Ayuwandari
Ilenk Rembulan
Imam S Arizal
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Iman Budi Santoso
Imron Tohari
Indah Darmastuti
Indiar Manggara
Indra Tjahyadi
Indrian Koto
Isbedy Stiawan ZS
Iwan Gunadi
Javed Paul Syatha
Jibna Sudiryo
Johan Khoirul Zaman
Johannes Sugianto
Joko Pinurbo
Joko Saputro
Jufri Zaituna
Jusuf AN
Kadek Wara Urwasi
Kadjie Bitheng MM
Kartika Kusworatri
Kedung Darma Romansha
Kika Syafii
Kirana Kejora
Kirdjomuljo
Kurnia Effendi
Kurniawan Junaedhie
Kurniawan Yunianto
Kusprihyanto Namma
Kuswaidi Syafi’ie
L.K. Ara
Lailatul Muniroh
Landung Rusyanto Simatupang
Lela Siti Nurlaila
Liestyo Ambarwati Khohar
Lina Kelana
Linda Sarmili
Linus Suryadi AG
Liza Wahyuninto
Lubis Grafura
Lutfi Mardiansyah
M. Badrus Alwi
M. Faizi
Maghfur Munif
Maghie Oktavia
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Maman S. Mahayana
Maqhia Nisima
Marcellus Nur Basah
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Marwanto
Mas Marco Kartodikromo
Mashuri
Mathori A. Elwa
Matroni el-Moezany
Maya Mustika K.
Mega Vristian
Miftahul Abrori
Mohammad Yamin
Muhammad Ali Fakih
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muntamah Cendani
Mustiar AR
Mustofa W Hasyim
Mutia Sukma
Nadjib Kartapati Z
Nanang Suryadi
Nezar Patria
Ni Made Purnama Sari
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Destriani Devi
Noor Sam
Nunung S. Sutrisno
Nur Iswantara
Nur Lodzi Hady
Nur Wahida Idris
Nurel Javissyarqi
Nurul Komariyah
Nyoman Tusthi Eddy
Nyoman Wirata
Pariyo Adi
Pringadi AS
Pringgo HR
Puisi-Puisi Indonesia
Purwadmadi Admadipurwa
Puspita Rose
Putri Sarinande
R. Toto Sugiharto
Rachmat Djoko Pradopo
Raedu Basha
Ragil Suwarno Pragolapati
Rakai Lukman
Rama Prabu
Ramadhan KH
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Ribut Wijoto
Rikard Diku
Robin Al Kautsar
Rozi Kembara
Rudi Hartono
Rusydi Zamzami
S Yoga
Sahaya Santayana
Saiful Bakri
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Selendang Sulaiman
Seli Desmiarti
Sigit Sugito
Sihar Ramses Simatupang
Siska Afriani
Sitok Srengenge
Sitor Situmorang
Slamet Rahardjo Rais
Slamet Widodo
Sosiawan Leak
Sreismitha Wungkul
Sri Harjanto Sahid
Sri Jayantini
Sri Setya Rahayu
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sumargono SN
Suminto A. Sayuti
Sunardi KS
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryanto Sastroatmodjo
Sutirman Eka Ardhana
Syifa Aulia
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Triaton
Tengsoe Tjahjono
Tharie Rietha
Thowaf Zuharon
Timur Sinar Suprabana
Tita Maria Kanita
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
TS Pinang
Ulfatin Ch
Umbu landu Paranggi
Unieq Awien
Usman Arrumy
W. Haryanto
W. Herlya Winna
W.S. Rendra
Wahyu Hidayat
Wahyu Subuh
Warih Wisatsana
Wayan Sunarta
Weni Suryandari
Widi Astuti
Wiji Thukul
Winarni R.
Y. Wibowo
Yonathan Rahardjo
Yosi M Giri
Yudhi Herwibowo
Yudhiono Aprianto
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yusuf Suharto
Yuswan Taufiq
Yuswinardi
Zaenal Faudin
Zainal Arifin Thoha
Zamroni Allief Billah
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Tidak ada komentar:
Posting Komentar