Rabu, 16 September 2009

Puisi-Puisi Eimond Esya

http://www.sastra-indonesia.com
http://www.facebook.com/people/Eimond-Esya/1345467895
Lotus

(I) Seperti pelacur perawan. Dikepalamu Mahkota anyaman
ranting dan daun-daun zaitun melingkar. Di belakangmu
seekor Phoenix membentangkan sayap. Dua bayi bertubuh
monyet. Menggenggam trisula. Menjagamu tidurmu.

Demikian aku melihatnya. Ratusan tahun yang lalu. Ketika
kata-kata dan kebijaksanaan lebih sedikit dari jumlah telur naga.
Kau mengkudeta syair seorang penujum uzur dan kemudian
dilamar Midas. Memilih nurbuat yang bisa disentuh jadi emas.

Tapi kau memilih nasibmu sendiri. Sebuah telaga payau.
Yang paling hijau pekat. Tempat klorofil luntur. Dari jutaan
Lumut yang gugur. Disana kuncup-kuncup baru jantung bertunas

Tanpa harus kelaparan. Atau hilang ingatan. Saat sebuah kail
dicelupkan. Kau selalu timbul. Keluar dari kekudusan.
Dan sebutir kebijaksanaan kau lesatkan dari kedalaman

(II) Sebuah peringatan. Seperti ubun-ubun seekor paus.
Membersinkan bubuk kristal garam. Terlontar seperti peluru
sonar. Cambuk api yang melecut angkasa. Sebuah isyarat agar
Pesta dimulai. Kura-kura menyembulkan kepala. Rokok di mulut.

Nikotin asap dupa, manequin pengidap lepra. Buntung lengan
buntung kelamin menanggalkan busana. Punggung Lampu
ditumbuhi punduk. Cinta, cinta, cinta. Sepi, sepi sepi dituliskan
dengan menghentakkan kaki. Stalagnit jatuh gigi susu tumbuh.

Satu per satu. Sadu demi satu. Lalu kau tertawa. Menemukan
rantai roda gempa. Dengan telunjukmu kau putar geligi susu itu
Sampai pesta ini oleng. semakin mabuk semakin khusyu

Telah kau bayangkan sebuah dunia baru. Selat tertutup lenyap
Dan muara hanya tinggal lumpur kata-kata. Laut jadi telaga.
Tak ada yang terasing. Dalam hanya satu taman maha besar.

(III) Mungkin, hanya keyakinan. Bahwa semua ini hanyalah tipuan
Aku pernah mengatakannya. Bahwa dunia hanyalah buih besar
Dan perasaan adalah kain yang dicelupkan kedalam airmata Tuhan
Demikian pula, Jibril tak pernah berjanji pada nabi manapun.

Mungkin saja, ayat berikutnya dititipkan pada syair Rock and Roll.
Atau pada seorang pujangga hydrocepalous. Dalam resep janda-janda
thypus. Kita hanya perlu telinga yang lebih besar, sebuah
Cerobong asap. Jelaga kesakitan ini, tinggal kita beri ampul imunisasi

Siapa yang menentukan? Siapa yang lebih tahu? Bahwa waktu
Memang benar-benar berlalu? Atau ia diam dan kita yang sebenarnya
Pemburu? Kematian, kehidupan, beludru hitam tercukur diantaranya?

Hanya kesenduan, dan tak perlu kau sesali. Jika suatu saat nanti
lotus telaga ini jadi sepi, dan dunia berakhir dengan sebuah kiamat.
Tanpa sesuatu apapun yang rubuh luluh lantak dan hancur, kecuali:

Dirimu.
_______
E.E 2009



Matematika

Kukira, tubuhku hanyalah dua belas rusuk kubus
Konstruksi yang dibangun dari tulang-tulang putus
dan diagonal urat yang tak sama panjang. Penuh engsel
dan geometri model. Peralatan yang terlalu lemah untuk
membangun peradaban. Sejak sebuah angka dibolongi
taring seekor kupu-kupu

Sejak itu Kukira, aku juga hanya butuh sebuah
Tempurung yang lebih keras. Untuk kepalaku sendiri.
Hingga kau tak akan mampu menggedorku. Meski
dengan ayunan godam. Karena aku tidak belajar apapun
dari sebatang paku. Maupun sebuah simpul mati.
Berikan padaku sebuah trauma. Maka akan kutumpukan
Kaki dimensi di sana.

Selebihnya, saksikan saja pembuktianku. Kan ku bawa kau
keluar dari tubuhmu sendiri. Melakukan dosa sampai kau
menemukan sebuah Agama. Atau silahkan saja kau tetap
jadi matematika. Lihatlah, Kupu-kupu itu mulai meronta
demikian indahnya, dan kukira berikutnya, sesudah ini
dari celah bolong itu
Neraka akan
berdebam
ke dunia.
Dalam sebutir -yang mungkin masih akan kau kira-

apel merah menyala.
________________
E.E, 2009



Galaxies

Diunggah melalui Facebook Seluler
Tiba-tiba kau menetes dari sebuah lobang di langit malam
Mendung panas dan penuh racun. Listrik megalitikum
Badai yang takkan mungkin menyentuh gaunmu
Lapisan kain nan semurni bening selaput telur katak
Yang diperam garam-garam dalam lautan purba
Ku lihat sebuah teluk surut, dan ombak-ombak dibawah
matahari muda melepaskan diri dari pelukanku.

Ketika itu senja adalah sebuah hari dan bintang-bintang masih
demikian rendahnya. Seperti ujung-ujung api lilin ulang tahun
seorang remaja. Kau bisa saja menghembusnya hingga padam
Karena usia belum ditandakan, dan Tuhan masih sendirian
Namun sebuah taman telah berdiri di bibir tebing paling tinggi
Aku tepakur memahamimu. Dengan bola mataku
Yang terlihat seperti dua bulan putih susu.

Menyaksikan peri angin tiba-tiba membugili tubuhnya sendiri.
Gravitasi menarik nafas sebelum untuk pertama kalinya
menyelam ke dalam samudera. Ombak-ombak bergerak
maju sementara teluk semakin surut. Mendung membarakan
gelegak Nebula. Kelejat racun dan listrik memecut bola mataku.
Kusaksikan pula kemudian daratan dipahat pasang dan lahar.
Dan nasib air ditentukan saat itu juga. Semuanya akan
menjadi uap dan akhirnya lenyap seperti usia.

Kemudian yang tersisa hanya sebuah penjara. Belukar dan
kelenjar yang mulai tumbuh liar. Semak biru, kecil, mungil dan
damai. Seekor katak tiba-tiba melompat ke dalamnya.
Seorang pelayan telah mencatat semua pesananku, dan
sebenarnya telah kutitipkan dirimu padanya. Pada gugus
baru bintang-bintang di hadapan kita ini.

Karena seekor kera bungkuk sepertiku, harus menemukan
tempatnya sendiri. Memanggul semua sepi, memasuki goa
yang lebih luas dan kelam, meringkuk di dalamnya

Tersedu, bertepuk,
mengangguk.
___________
E.E, March 09



At Airport

Perjalanannya begitu singkat dan tiba-tiba kau terhenti di hamparan panjang ini.
Turbin kendur dan angin mendadak redup sebelum sempat menamparmu
Tapi pipimu tetap bergetar. Oleh kenanganmu yang kemudian melemah
Seperti bulu-bulu layu. Di pinggir landasan pacu, kau lihat rumput-rumbut bungkuk
Dan bunga dengan kelopak renta dikalungkan. Lehermu mencapai gerbang
selamat datang. Sebuah belalai terjulur. Lobang hidungnya lobang hitam
yang menyambut, dan menghisap dan menghabisimu dalam sekali sedak .
Sunyi.
Adalah segumpal dahak. Atau teori penghancuran alam raya.

Kemudian kau mulai berjalan. Menapaki koridor itu. Menyeret ekormu ke sebuah
ruang tunggu. Di atas tempat tidur yang asing dan masih berbau asin. Nanti akan
kau kibas-kibaskan ekor itu seperti seekor anjing senang sambil mengunci tusukan
Penuh rindumu. Seorang kapten berahang keras, bermata elang mendaratkan
mu dengan sempurna dari kepungan ruang hampa. Waktu tergenang di sepanjang
Koridor berikutnya. Langkahmu melayang. Punggungmu melepaskan diri
dari cahaya ungu. Diantara orang- orang yang bergerak maju dan berjalan mundur.
Menyeret ekor masing-masing atau duduk santai sambil menjadikannya lawan bicara.
Di sebuah sudut sepasang lutut disimpuhkan seorang biarawati
Memesan sebuah cuaca pada Tuhan dengan doa. Air liur menyentuh dagunya.
Dibawah naungan gema bisu sebuah lonceng raksasa.
Kau menjerit gembira

Dan aku menutup telinga. Agar airmataku tak keluar dari sana. Namun kau segera
melompat-lompat dalam jantungku, berputar-putar dalam kulumanku. Dalam
dekapan ketat. Seperti bulan pada bumi bumi pada matahari matahari pada waktu
waktu yang mengembalikan segalanya pada keheningan. Kitapun tenggelam seperti
bayi-bayi dalam kolam rahim. Mengapungkan gelembung nafas kita yang menderu
dalam riak kuning cairan ketuban. Sementara itu diluar sana kita biarkan segalanya
mendadak berhenti dan beku. Rapuh namun kukuh. Seperti patung-patung dari tepung.
Putih sempurna. Turbin kendur, Rumput-rumput bungkuk, kelopak renta bunga,
manusia-manusia berekor, kapten berahang keras, biarawati yang berdoa, Air liur
yang menyentuh dagu.

Lalu ketika semuanya kita hentikan, ada yang menyentakkan sebuah tali. Lonceng
bergema bisu itu seketika berdesing dan sebuah pesawat terbang ke angkasa luas.
Setinggi-tingginya. Liur di dagu biarawati menetes dan orang-orang kembali mencari
arahnya masing-masing.

Aku pun mengiris rahim itu. Meluncur keluar di atas hidup yang licin lalu tersungkur
dan memahami sesuatu:

Manusia mungkin hanya menjelajah dengan lidahnya. Mereka semua adalah semacam
Penjajah.

Semacam Fasis,

Fasis

Klitoris
_____________
E.E, March 2009



At Theater

Di sebuah menara terasing. Misteri meluaskan diri. Kubah tinggi, kurung dinding.
Rombongan penziarah berbaris. Mendaki ratusan kursi yang disusun serapat gigi
Sunyi duduk dengan kepala tegak. Sedingin nisan tak bergerak
Di jendela, dunia lain diciptakan. Dalam lapisan bedak para malaikat disisipkan.
Semua cahaya mampat di sana.

Aku menunggu. Bersama rencanaku yang lancang. Hidangan kisah untuk kesepian
Kata-kata kucampakkan. Di pintu masuk, hidup sesungguhnya kugantung.
Langit jingga dan awan-awan seremuk tisu lapuk. Kata-kataku meregang nyawa.
Jaket yang kukenakan terbuka.
Seseorang menarik tuas katrol. Sekelompok badut melompat.
Hidung biru senyum hitam. Tirai gelap turun sempurna

Panggung besar terbentang. Sunyi tergolek. Tersenyum lemah di atas bahuku.
Demikianlah aku berusaha meraba-raba kemana takdir melanjutkan tariannya.
Yang liar seperti gigil moncong senapan mesin menyemburkan peluru.
Seperti cinta yang menceritakan dirinya sendiri kembali sepanjang waktu.
Tanpa pernah punya kesempatan untuk kutafsirkan baik-baik
selain bergelung dan sesudahnya memasturbasi mimpi.

Tapi aku tak mampu bergelung lebih dalam lagi. Kusaksikan kemudian
Seluas mulut lapar, bayang-bayang hidup mengangakan rahang.
Sebuah parade merangkak keluar dan memulai perayaan.
Aku memekikkan terompet rencanaku yang lancang.
Mencekik ufuk agar kisah ini gagal diselesaikan.

Lalu Percikan Blitz terakhir mengerjab.
Bedakmu retak dan cairan besi meluap. Aku menjadi lebih luas, lebih keji dari misteri.
Sebuah Kutub kusentuh dan sunyi kembali tegak.

Maha magnit tercipta. Orang-orang sekarat disana. Menempel bernafas

Tapi tidak akan pernah, tidak akan pernah bisa benar-benar
benar-benar

Mati
__________
E.E 2009

Tidak ada komentar:

A. Mustofa Bisri A'yat Khalili Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Wachid B.S. Abi N. Bayan Abidah El Khalieqy Acep Syahril Acep Zamzam Noor Adi Toha Adrian Balu AF Denar Daniar Afrizal Malna Agus Manaji Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunarto Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Maltuf Syamsury Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Ala Roa Aldika Restu Pramuli Alfatihatus Sholihatunnisa Alfiyan Harfi Ali Makhmud Ali Subhan Amelia Rachman Amie Williams Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Andry Deblenk Anggie Melianna Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anna Subekti Aprinus Salam Ariandalu S Arieyoko Ksmb Arya Winanda As Adi Muhammad Asep Sambodja Atrap S. Munir Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Badaruddin Amir Bakdi Sumanto Bambang Darto Bambang Kempling Bambang Widiatmoko Beni Setia Beno Siang Pamungkas Bernando J. Sudjibto Bernard S. Y. Batubara Binhad Nurrohmat Budhi Setyawan Budi Palopo Bustan Basir Maras Chairul Abhsar Chavchay Saifullah Cut Nanda A. D. Zaini Ahmad D. Zawawi Imron Dadang Afriady Dadang Ari Murtono Daisy Priyanti Daysi Priyanti Dea Anugrah Dea Ayu Ragilia Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Desti Fatin Fauziyyah Dewi Kartika Dharmadi Diah Budiana Diah Hadaning Dian Hartati Didik Komaidi Dimas Arika Mihardja Djoko Saryono Dody Kristianto Dorothea Rosa Herliany Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dwi S. Wibowo Edy Lyrisacra Effendi Danata Eimond Esya Eka Budianta Eko Hendri Saiful Eko Nuryono El Sahra Mahendra Ellie R. Noer Elly Trisnawati Emha Ainun Nadjib Endang Supriadi Endang Susanti Rustamadji Eny Rose Eppril Wulaningtyas R Esha Tegar Putra Esti Nuryani Kasam Etik Widya Evi Idawati Evi Melyati Evi Sefiani Evi Sukaesih Fadhila Ramadhona Fahmi Faqih Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fanny Chotimah Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fati Soewandi Fatimah Wahyu Sundari Fauzi Absal Felix K. Nesi Fikri MS Fina Sato Firman Wally Fitrah Anugerah Frischa Aswarini Gampang Prawoto Ghaffur Al-Faqqih Gita Nuari Gita Pratama Goenawan Mohamad Gunawan Maryanto Gunoto Saparie Gus tf Sakai Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamid Jabbar Hari Leo Haris del Hakim Hasan Al Banna Hasan Aspahani Hasta Indriyana Helga Worotitjan Heri Latief Heri Listianto Heri Maja Kelana Herlinatiens Hudan Hidayat Hudan Nur Ibnu Wahyudi Ikarisma Kusmalina Ike Ayuwandari Ilenk Rembulan Imam S Arizal Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Iman Budi Santoso Imron Tohari Indah Darmastuti Indiar Manggara Indra Tjahyadi Indrian Koto Isbedy Stiawan ZS Iwan Gunadi Javed Paul Syatha Jibna Sudiryo Johan Khoirul Zaman Johannes Sugianto Joko Pinurbo Joko Saputro Jufri Zaituna Jusuf AN Kadek Wara Urwasi Kadjie Bitheng MM Kartika Kusworatri Kedung Darma Romansha Kika Syafii Kirana Kejora Kirdjomuljo Kurnia Effendi Kurniawan Junaedhie Kurniawan Yunianto Kusprihyanto Namma Kuswaidi Syafi’ie L.K. Ara Lailatul Muniroh Landung Rusyanto Simatupang Lela Siti Nurlaila Liestyo Ambarwati Khohar Lina Kelana Linda Sarmili Linus Suryadi AG Liza Wahyuninto Lubis Grafura Lutfi Mardiansyah M. Badrus Alwi M. Faizi Maghfur Munif Maghie Oktavia Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maman S. Mahayana Maqhia Nisima Marcellus Nur Basah Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marwanto Mas Marco Kartodikromo Mashuri Mathori A. Elwa Matroni el-Moezany Maya Mustika K. Mega Vristian Miftahul Abrori Mohammad Yamin Muhammad Ali Fakih Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muntamah Cendani Mustiar AR Mustofa W Hasyim Mutia Sukma Nadjib Kartapati Z Nanang Suryadi Nezar Patria Ni Made Purnama Sari Ni Made Purnamasari Ni Putu Destriani Devi Noor Sam Nunung S. Sutrisno Nur Iswantara Nur Lodzi Hady Nur Wahida Idris Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Nyoman Tusthi Eddy Nyoman Wirata Pariyo Adi Pringadi AS Pringgo HR Puisi-Puisi Indonesia Purwadmadi Admadipurwa Puspita Rose Putri Sarinande R. Toto Sugiharto Rachmat Djoko Pradopo Raedu Basha Ragil Suwarno Pragolapati Rakai Lukman Rama Prabu Ramadhan KH Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Ribut Wijoto Rikard Diku Robin Al Kautsar Rozi Kembara Rudi Hartono Rusydi Zamzami S Yoga Sahaya Santayana Saiful Bakri Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Selendang Sulaiman Seli Desmiarti Sigit Sugito Sihar Ramses Simatupang Siska Afriani Sitok Srengenge Sitor Situmorang Slamet Rahardjo Rais Slamet Widodo Sosiawan Leak Sreismitha Wungkul Sri Harjanto Sahid Sri Jayantini Sri Setya Rahayu Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sumargono SN Suminto A. Sayuti Sunardi KS Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Sutirman Eka Ardhana Syifa Aulia Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Ranusastra Asmara Teguh Triaton Tengsoe Tjahjono Tharie Rietha Thowaf Zuharon Timur Sinar Suprabana Tita Maria Kanita Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto TS Pinang Ulfatin Ch Umbu landu Paranggi Unieq Awien Usman Arrumy W. Haryanto W. Herlya Winna W.S. Rendra Wahyu Hidayat Wahyu Subuh Warih Wisatsana Wayan Sunarta Weni Suryandari Widi Astuti Wiji Thukul Winarni R. Y. Wibowo Yonathan Rahardjo Yosi M Giri Yudhi Herwibowo Yudhiono Aprianto Yurnaldi Yusri Fajar Yusuf Suharto Yuswan Taufiq Yuswinardi Zaenal Faudin Zainal Arifin Thoha Zamroni Allief Billah Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae