Rabu, 16 September 2009

Puisi-Puisi Halimi Zuhdy

http://www.facebook.com/profile.php?id=1508880804&ref=fs
Untukmu

kusulam sajak ini, untukmu
hai! pecandu rindu dari kalbu
yang tergugah.

kurajut sajak ini, untukmu
hai! zeonis cinta yang harap debar kedamaian.
di sana, terlihat konspirasi-konspirasi
kemunafikan, keangkuhan, kedholiman, ketidak pastian

kurangkai sajak ini, untukmu
hai! Penyamun kekuasaan, yang tak lelah
melahap kemurkaan. Opera-opera berhenti
di penghujung ketidakjelasan. Sarung-sarung
melorot, jilbab-jilbab tergantung di pojok-pojok
kota, kesucian robek mengerang.

kutitipkan sajak ini, padamu
agar tak beku, punah, hancur, lusuh,
ditelan waktu.
bacalah! dengan riak-riak
rasa. dengan tetesan linangan mata.
tapi jangan sampai terbakar
dilahap bara.

Malang, 17 April 2005



Sajakku Tak Bermakna

lembaran putih
tinta hitam
melebur menjadi kata
kata yang tak bermakna
kau baca dengan larik mesra
namun kata itu
tetap tak bermakna
kutambah frasa, klausa, kalimat sehingga menjadi alinea
kau bilang masih tak bermakna
kata memang kadang tak mewakili cinta yang sebenarnya
kau memang pintar
kau bilang kata tak bermakna
karena kau menunggu cinta yang sebenarnya
bukan lewat kata yang mengandung seribu makna
kau hanya ingin satu makna
makna cinta
aku pun tak sia-sia
karena kata yang kutulis untukmu hanya
punya satu makna
makna cinta

Malang, 11 April 2005.



Negeri Tikus

1
diawal cerita kudengar negeriku indah nan subur.
biji bertebar dihembus angin
menjadi pohon tanpa tangan

2
anak-anak pada riang menikmati secangkir madu
serutu berhembus menebar angan bapak-bapak
asap pun mengepul, berbau kesturi dari bilik dapur

3
hijau dan rindang kutemukan dari alamku
kesejukan muncul dari angan dan kenyataan
anak-anak pada kuceritakan keindahan
senyum pun tersungging dari bilik mulut kecil itu

4
harapan hidup seribu tahun tak menjadi kenyataan
kini negeriku tak ada senyum
asap pun yang dulu mengepul dari bilik-bilik gubuk
pojong dusun
kini hanya mengepul dari bilik sang bapak
pemilik modal dan kekuasaan

5
biji menebar jadi tanaman
tak ada campur tangan, kini tak lagi kutemukan
karena gigi runcing tikus terus merayap
melahap dan melahap

6
anak-anak bosan dengar cerita, karena hanya hayalan
kini kusimpan dipeti mati, agar tangisan tak
terbuai lagi
dipenghujung cerita, aku hanya penatap
negeriku pilu penuh dengan tikus-tikus
yang katanya “tikus negeri paling banyak”

Malang, 16 April 2005



Tuhan pun Berdzikir
__________________satu

jalan-jalan sunyi menebar angan, malam
terselubung pekat
tak ada kata, tak ada cinta, tak ada rasa
yang ada hanya manusia, manusia tanpa nyali,
manusia tanpa malu

manusia pun lenyap dalam pesona, impian pun hancur
manusia tidak ada yang ada hanya ruh
ruh pun larut dalam genggaman Sang Maha,
Maha segala-nya
manusia dan ruh dalam kehampaan yang ada
hanya wujud
Ujud Maha Wujud, tak ada dua wujud
yang ada hanya Wujud-Nya
manusia pun tak berujud, karena
hakekat Wujud-Nya yang berwujud

aku berdzikir Tuhan pun berdzikir, karena
aku lenyap dalam Aku-Nya, yang ada hanya Wujud-Nya.
aku berdzikir Tuhan pun berdzikir, karena
aku adalah milik-Nya.
aku berdzikir Tuhanpun berdzikir, karena
aku lenyap yang ada adalah Dzat-Nya

aku berfikir Tuhan pun berfikir, karena
aku dalam kendali-Nya
aku hanya manefestasi dari-Nya
tak ada dualisme yang kekal.

*) Puisi Tuhan pun berdzikir terinspirasi dari perkataan Jalaluddin Ar-Rumi :
Uangkapan “Aku adalah Tuhan” bukanlah timbul dari sifat meninggikan diri. Melainkan suatu kerendahan hati yang total. Seseorang yang berkata “Aku adalah Hamba Tuhan” menyebutkan dua keberadaan, dirinya dan Tuhan. sedangkan ungkapan “Aku adalah Tuhan” berarti peniadaan diri, yakni, dia menyerahka keberadaan dirinya sebagai kekosongan. Dikatakan “Aku adalah Tuhan” bermakna : “Aku tidak ada; segala sesuatu adalah Dia. Keberadaan adalah Tuhan sendiri, aku bukan keberadaan sama sekali; bukan apa-apa. “ pernyataan ini luar biasa, lebih dari pengakuan segala kemulyaan. Sayangnya, banyak yang tidak memahami.

Malang, 2005



Tak Terbaca

sehelai tirai merahasiakan rindu
goresan-goresan pena mengunung
tak terbaca

lembaran-lembaran lontar berdebu,
tak berharga,
lenyaplah harapan mengecup kasih rindu
yang tersembunyi di balik lencana

Tuhan,
dulunya burung-burung
berdansa di rerimbunan kemakmuran
kini, ikan tak lagi menari-nari
karena mutiara itu,
terbungkus di kantong-kantong penyamun

Malang, 2003



Nafsu
__________silau__

lautan mencoba
merayu dengan suara ombaknya
yang syahdu,
ilalang melambai-lambai
menarik perhatian sang pujangga-jingga

syaitan
berlakon pak kiyai,
di pentas sanggar keangkuhan

Ifrit
berlakon pak pejabat
di meja-meja eksekusi
manusia ada di antara cinta dan kebencian
di gundukan kejujuran dan kemunafikan

Malang, 2003



Perempuan Tanpa Syahwat

bir di café itu, membuat hiruk pikuk. Lelaki setengah baya
mengangguk. Anggukan lirih menoreh makna.
senyum sampul menebar di keheningan malam. Desah hujan
menebar pesona. Rok tipis, rambut setengah bau,
lengan tak berbusana membuat suasana semakin riak.
Musik rok, jaz berdayu-dayu, menghantar penafsu berseloroh.
Mami tersenyum ramah. Selembar selendang datang, menyambar
seuntai senyum.

Perempuan itu, perempuan itu, menguak detak. Tak satu pun
nafas seloroh dengan alam sendirian. Ia tangkap malam,
keheningan bersua. perempuan itu, perempuan itu, lenyap.
Karena fulus tak akur dengan celotehnya. Syahwat Kumal dimakan usia
modal berdagang tinggal butira, itu pun kalau, kalau, kalau.

Malang, 13 April 2005



Titik Nol
———— kegilaanmu dipenghujung cinta dan harapan

1/
seuntai mutiara harapan, kau rajut
di altara cinta dan kasih sayang
kau cari kebahagiaan dengan tangan menengadah
dengan mulut komat-kamet, tubuh penuh keringat, napas tersengal
kau tembus panas keganasan metropolitan
kau tidur beralas koran dengan berbantal pualam.
yang keluar dari mulutmu “berat rasanya hidup ini”

2/
kau tak mengerti mengapa kau jadi begini. kau tak paham
mengapa kau terseok-terseok dengan harapan hampa.
kau tak mengerti kau telah dihianati di kerajaanmu sendiri.
kau sebenarnya yang berkuasa
tapi kini kau dikuasai
kau sebenarnya yang berhak mengatur, tapi kau kini diatur
suaramu tak lagi didengar, BBM tetap merangsung
kini kau diajak untuk berperang “ambalat”

3/
sekelilingmu menatap tanpa dosa
renai-renai mentari semakin susut
kelam tiba dalam rayuan
raja-raja dan bandit kekuasaan
menuai dadar dan roti hangat
sedangkan kau penuhi tubuhmu
racun-racun tikus, membinasakan.
karena kau lagi haus
kau jilat-jilat sepatu busuk di kerajaan yang katanya
“bertuhan”
kau tidak salah karena hidup di kerajaan para pengecut
jeritan terakhirmu kudengar, kau terhampar kaku
dengan perut tak berbutir
mulut tak berair
kau tebus keserakahan penguasa dengan titik nol
garis-garis hidupmu tak jelas, karena titik-titik itu
tak pernah bertinta

Malang, 14 Maret 2005
(to sebuah keserekahan dan penghianatan)

Tidak ada komentar:

A. Mustofa Bisri A'yat Khalili Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Wachid B.S. Abi N. Bayan Abidah El Khalieqy Acep Syahril Acep Zamzam Noor Adi Toha Adrian Balu AF Denar Daniar Afrizal Malna Agus Manaji Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunarto Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Maltuf Syamsury Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Ala Roa Aldika Restu Pramuli Alfatihatus Sholihatunnisa Alfiyan Harfi Ali Makhmud Ali Subhan Amelia Rachman Amie Williams Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Andry Deblenk Anggie Melianna Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anna Subekti Aprinus Salam Ariandalu S Arieyoko Ksmb Arya Winanda As Adi Muhammad Asep Sambodja Atrap S. Munir Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Badaruddin Amir Bakdi Sumanto Bambang Darto Bambang Kempling Bambang Widiatmoko Beni Setia Beno Siang Pamungkas Bernando J. Sudjibto Bernard S. Y. Batubara Binhad Nurrohmat Budhi Setyawan Budi Palopo Bustan Basir Maras Chairul Abhsar Chavchay Saifullah Cut Nanda A. D. Zaini Ahmad D. Zawawi Imron Dadang Afriady Dadang Ari Murtono Daisy Priyanti Daysi Priyanti Dea Anugrah Dea Ayu Ragilia Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Desti Fatin Fauziyyah Dewi Kartika Dharmadi Diah Budiana Diah Hadaning Dian Hartati Didik Komaidi Dimas Arika Mihardja Djoko Saryono Dody Kristianto Dorothea Rosa Herliany Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dwi S. Wibowo Edy Lyrisacra Effendi Danata Eimond Esya Eka Budianta Eko Hendri Saiful Eko Nuryono El Sahra Mahendra Ellie R. Noer Elly Trisnawati Emha Ainun Nadjib Endang Supriadi Endang Susanti Rustamadji Eny Rose Eppril Wulaningtyas R Esha Tegar Putra Esti Nuryani Kasam Etik Widya Evi Idawati Evi Melyati Evi Sefiani Evi Sukaesih Fadhila Ramadhona Fahmi Faqih Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fanny Chotimah Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fati Soewandi Fatimah Wahyu Sundari Fauzi Absal Felix K. Nesi Fikri MS Fina Sato Firman Wally Fitrah Anugerah Frischa Aswarini Gampang Prawoto Ghaffur Al-Faqqih Gita Nuari Gita Pratama Goenawan Mohamad Gunawan Maryanto Gunoto Saparie Gus tf Sakai Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamid Jabbar Hari Leo Haris del Hakim Hasan Al Banna Hasan Aspahani Hasta Indriyana Helga Worotitjan Heri Latief Heri Listianto Heri Maja Kelana Herlinatiens Hudan Hidayat Hudan Nur Ibnu Wahyudi Ikarisma Kusmalina Ike Ayuwandari Ilenk Rembulan Imam S Arizal Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Iman Budi Santoso Imron Tohari Indah Darmastuti Indiar Manggara Indra Tjahyadi Indrian Koto Isbedy Stiawan ZS Iwan Gunadi Javed Paul Syatha Jibna Sudiryo Johan Khoirul Zaman Johannes Sugianto Joko Pinurbo Joko Saputro Jufri Zaituna Jusuf AN Kadek Wara Urwasi Kadjie Bitheng MM Kartika Kusworatri Kedung Darma Romansha Kika Syafii Kirana Kejora Kirdjomuljo Kurnia Effendi Kurniawan Junaedhie Kurniawan Yunianto Kusprihyanto Namma Kuswaidi Syafi’ie L.K. Ara Lailatul Muniroh Landung Rusyanto Simatupang Lela Siti Nurlaila Liestyo Ambarwati Khohar Lina Kelana Linda Sarmili Linus Suryadi AG Liza Wahyuninto Lubis Grafura Lutfi Mardiansyah M. Badrus Alwi M. Faizi Maghfur Munif Maghie Oktavia Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maman S. Mahayana Maqhia Nisima Marcellus Nur Basah Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marwanto Mas Marco Kartodikromo Mashuri Mathori A. Elwa Matroni el-Moezany Maya Mustika K. Mega Vristian Miftahul Abrori Mohammad Yamin Muhammad Ali Fakih Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muntamah Cendani Mustiar AR Mustofa W Hasyim Mutia Sukma Nadjib Kartapati Z Nanang Suryadi Nezar Patria Ni Made Purnama Sari Ni Made Purnamasari Ni Putu Destriani Devi Noor Sam Nunung S. Sutrisno Nur Iswantara Nur Lodzi Hady Nur Wahida Idris Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Nyoman Tusthi Eddy Nyoman Wirata Pariyo Adi Pringadi AS Pringgo HR Puisi-Puisi Indonesia Purwadmadi Admadipurwa Puspita Rose Putri Sarinande R. Toto Sugiharto Rachmat Djoko Pradopo Raedu Basha Ragil Suwarno Pragolapati Rakai Lukman Rama Prabu Ramadhan KH Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Ribut Wijoto Rikard Diku Robin Al Kautsar Rozi Kembara Rudi Hartono Rusydi Zamzami S Yoga Sahaya Santayana Saiful Bakri Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Selendang Sulaiman Seli Desmiarti Sigit Sugito Sihar Ramses Simatupang Siska Afriani Sitok Srengenge Sitor Situmorang Slamet Rahardjo Rais Slamet Widodo Sosiawan Leak Sreismitha Wungkul Sri Harjanto Sahid Sri Jayantini Sri Setya Rahayu Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sumargono SN Suminto A. Sayuti Sunardi KS Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Sutirman Eka Ardhana Syifa Aulia Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Ranusastra Asmara Teguh Triaton Tengsoe Tjahjono Tharie Rietha Thowaf Zuharon Timur Sinar Suprabana Tita Maria Kanita Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto TS Pinang Ulfatin Ch Umbu landu Paranggi Unieq Awien Usman Arrumy W. Haryanto W. Herlya Winna W.S. Rendra Wahyu Hidayat Wahyu Subuh Warih Wisatsana Wayan Sunarta Weni Suryandari Widi Astuti Wiji Thukul Winarni R. Y. Wibowo Yonathan Rahardjo Yosi M Giri Yudhi Herwibowo Yudhiono Aprianto Yurnaldi Yusri Fajar Yusuf Suharto Yuswan Taufiq Yuswinardi Zaenal Faudin Zainal Arifin Thoha Zamroni Allief Billah Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae