http://www.sastra-indonesia.com/
My Mom Superchef
ibu memasak sayur sop
ia menceduk air dari mataku
beberapa gayung
katanya akan dibagikan ke tetangga
kata tetangga
air mataku mengandung khasiat
: mimpi dan citacita
ibu menggoreng katakata
yang selalu dihidangkan untukku
rasanya pedas dan membuatku
betah nongkrong di toilet
beberapa jam sambil bermimpi jadi penari balet
(nari baletnya jangan terlalu lincah nanti ketahuan mamah)
ibu mengupas khayalku
hidangkan di ruang tamu
Rahayu, 13 Oktober 2008
Bidadari Mandi
masa kecilku dulu
sering didongengi tentang bidadari mandi
hingga penasaran ingin lihat tubuh bidadari
berulangkali naik ke genting rumah paling tinggi
sepertinya mereka sembunyi, takut ketahuan
bekas luka bakar, atau
jerawat yang asyik nongkrong di wajahnya
seusai hujan
bidadari segera menutup pintu dengan pelangi
“kali ini harus berhasil,” kataku
teropong canggih sengaja kubeli
simpan di kamar mandi
“HHaaHH”
mereka tidak punya tubuh
dasar ibu pendusta
aku lari mencari ibu
yang sibuk dengan kocokan arisan
“kalau menang kita wisata ke pelangi,”
kata ibu sebelum pergi arisan
“bu, di pelangi tak ada bidadari
aku ingin lihat bidadari mandi,” teriakku
dulu, bidadari mandi di pelangi
sekarang, mandi di menu pagi
Ledeng-LW Panjang, 11 Desember 2007
Menjadi Penyair Lagi*
Untuk Acep Zamzam Noor
cep, di tasikmalaya, kutemukan helaihelai rambutmu
di lantai keramik yang kusam. aku selalu terkenang kepadamu
setiap melihat kacamata, jaket, atau rambut gondrong
atau ketika menyaksikan melvamu dirayu orang.
kini aku kesepian di kereta ini dan merasa
menjadi penyair lagi, anganku duduk denganmu
wajahmu mengantarkanku pada jalan imajinasi
kau tahu, cep, rayuan melvamu menjatuhkan
katakata dalam baris puisi hingga kecemburuanku
menjelma katakata juga
kini aku kesepian di kereta ini dan merasa
menjadi penyair lagi. helaihelai rambutmu yang rontok
kuletakkan dengan hatihati di dekat kemenyan
bersama bunga, boneka, dan segelas air. lalu kutulis puisi
ketika kurasakan tatapanmu ada di mataku
ketika bibirmu menahan kata untuk selingkuh
kutulis puisi sambil mengingatingat pesan melva
: kembalikan celana dalamku, kutang, serta ikat pinggangku
yang lupa aku simpan di bawah ranjang
aku tahu, cep, diamdiam melva cerita padaku
dan malu kembali ke hotelmu. waktu itu
kau telah menolak setelah kau melihat
isi dalam roknya
cep, melvamu adalah tenaga katakata
tapi aku takkan seperti melva yang meninggalkan
celana, atau semacamnya.
o. aku kesepian di sini dan merasa menjadi penyair lagi.
Kereta, 05 Mei 2008
Sajak Acep Zamzam Noor “Menjadi Penyair Lagi”
*) Sihir Terakhir, Antologi Puisi Penyair Perempuan ASAS, Penerbit PUstaka puJAngga, 2009.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Rabu, 24 Maret 2010
Puisi-Puisi Dian Hartati
http://www.sastra-indonesia.com/
Bahtera
bahtera mengapung di permukaan
air mata yang membawanya pergi
seperti burungburung terbang menuju hilir
bahtera kubangun sekuat tenaga
bercampur air mata rasa gelisah
kujelaskan pada mereka
penghuni setiap tingkap
bangunan ini hanya sebuah kegalauan
dan bahtera tetap berkelana
mencari tempat aman di atas kefanaan
bahteraku penuh keluh
selalu diurai kisah masa lalu
siapa penghuni berikutnya
ada firasat tak baik di hati
ragaku adalah bahtera
yang haus kisahkisah baru
di lambungnya terdapat karat
sebab menanti hujan reda
adalah sesuatu yang tak terjangkau
kayukayu berpatahan
koyak dimakan waktu
galau menuju kehampaan
siapa penghuni berikutnya
tak mengawali permulaan dengan kebohongan
nomornomor palsu
katakata hanya berlesatan
air mataku menderas
menggoyahkan samudera
tubuhku rapuh dimakan lumutlumut
kupercayakan alur air yang membawaku
gelombang membuai buritan
tiangtiang mencapai langit
berusaha mensucikan hati
aku dan tubuhku diintai waktu
siapa penghuni berikutnya
dapatkah kujelaskan pada mereka
tempat berlabuh yang aman
tetap tubuhku
SudutBumi, Maret 2008
Pentagon Suatu Malam
mengapa hujan selalu datang tanpa dimengerti
ketika kabut menyusup di bingkaibingkai tanpa terali besi
ruang dipenuhi nadanada
langkah mengiringi setiap nasib puisi
siapa berani menghardik untai kata
yang menempel di papanpapan hijau
mengerti gundah hati
pelataran tanpa cahaya
loronglorong bisu bermakna
resapilah bahwa tanggatangga yang memanjang itu
milik sementara waktu
kau akan beranjak meninggalkan semua kenangan
riuh puisipuisi dibacakan
lagulagu didendangkan
ketahuilah waktumu tak banyak
sekadar mengantar kepulangan
bangunan ini akan koyak
dimakan zaman bernama kenangan
SudutBumi, Desember 2006
Kau tak Melihat Kupukupu di Leherku
siang itu kuberikan leherku
agar kau melihat
sayapsayap mengepak
SudutBumi, 2006
Biar Kusimpan Kenangan Sendiri
~ ba
semenjak lagu itu kau putar
aku mulai tahu
musim tengah berguguran di hatiku
mewartakan setiap gelagat cuaca
dan aku merasakan semilir yang berbeda
dari gerak tubuhmu
jika saja
kita dapat menyimpan setiap kenangan
mungkin kau tak akan
singgah di cakrawala yang lain
biarlah,
kudengarkan senandung ini sendiri
di antara bias hari
kutetapkan hati
untuk bertamu sekali waktu
ketika daundaun
merajut zat hijaunya
ketika kau menghentikan putaran gramofon
di musim yang lain
SudutBumi, 17 Desember 2007
*) Sihir Terakhir, Antologi Puisi Penyair Perempuan ASAS, Penerbit PUstaka puJAngga, 2009.
Bahtera
bahtera mengapung di permukaan
air mata yang membawanya pergi
seperti burungburung terbang menuju hilir
bahtera kubangun sekuat tenaga
bercampur air mata rasa gelisah
kujelaskan pada mereka
penghuni setiap tingkap
bangunan ini hanya sebuah kegalauan
dan bahtera tetap berkelana
mencari tempat aman di atas kefanaan
bahteraku penuh keluh
selalu diurai kisah masa lalu
siapa penghuni berikutnya
ada firasat tak baik di hati
ragaku adalah bahtera
yang haus kisahkisah baru
di lambungnya terdapat karat
sebab menanti hujan reda
adalah sesuatu yang tak terjangkau
kayukayu berpatahan
koyak dimakan waktu
galau menuju kehampaan
siapa penghuni berikutnya
tak mengawali permulaan dengan kebohongan
nomornomor palsu
katakata hanya berlesatan
air mataku menderas
menggoyahkan samudera
tubuhku rapuh dimakan lumutlumut
kupercayakan alur air yang membawaku
gelombang membuai buritan
tiangtiang mencapai langit
berusaha mensucikan hati
aku dan tubuhku diintai waktu
siapa penghuni berikutnya
dapatkah kujelaskan pada mereka
tempat berlabuh yang aman
tetap tubuhku
SudutBumi, Maret 2008
Pentagon Suatu Malam
mengapa hujan selalu datang tanpa dimengerti
ketika kabut menyusup di bingkaibingkai tanpa terali besi
ruang dipenuhi nadanada
langkah mengiringi setiap nasib puisi
siapa berani menghardik untai kata
yang menempel di papanpapan hijau
mengerti gundah hati
pelataran tanpa cahaya
loronglorong bisu bermakna
resapilah bahwa tanggatangga yang memanjang itu
milik sementara waktu
kau akan beranjak meninggalkan semua kenangan
riuh puisipuisi dibacakan
lagulagu didendangkan
ketahuilah waktumu tak banyak
sekadar mengantar kepulangan
bangunan ini akan koyak
dimakan zaman bernama kenangan
SudutBumi, Desember 2006
Kau tak Melihat Kupukupu di Leherku
siang itu kuberikan leherku
agar kau melihat
sayapsayap mengepak
SudutBumi, 2006
Biar Kusimpan Kenangan Sendiri
~ ba
semenjak lagu itu kau putar
aku mulai tahu
musim tengah berguguran di hatiku
mewartakan setiap gelagat cuaca
dan aku merasakan semilir yang berbeda
dari gerak tubuhmu
jika saja
kita dapat menyimpan setiap kenangan
mungkin kau tak akan
singgah di cakrawala yang lain
biarlah,
kudengarkan senandung ini sendiri
di antara bias hari
kutetapkan hati
untuk bertamu sekali waktu
ketika daundaun
merajut zat hijaunya
ketika kau menghentikan putaran gramofon
di musim yang lain
SudutBumi, 17 Desember 2007
*) Sihir Terakhir, Antologi Puisi Penyair Perempuan ASAS, Penerbit PUstaka puJAngga, 2009.
Puisi-Puisi Diah Budiana
http://www.sastra-indonesia.com/
Menjelang Malam Purnama
kutulis sajak ini untuk kesekian kali
menopang getiran tanda tanya
lalu asap rokok bergetir merasuk aortaku
perbincangan di luar hanya sekadar lampu merah
burung-burung bersua, duduk sahaja
andaikan melodi kalbu dapat kudengar
sudah ke seribu malam purnama itu tak akan habis
ruh takkan meninggalkan jasad
dan kata tak mewakili jawaban
kau sudah terlanjur menggenggam siang-malam
bila kesempurnaan tiada menjadi batasan
akan kukayuh perahu bersamamu
menemui pulau tanpa penghuni
mengakhiri laut
bersamamu menjadi dayang-dayang keabadian
(namun ketika purnama usai, segalanya kau ditinggalkan.)
Serang, 2008
Kiranya Angin Enggan Bersemilir Sendiri
kiranya angin enggan bersemilir sendiri
juga musim malas diperpanjang peralihannya
disinikah paraunya rasa
menghangus batasan kesejukan
kaki pun tak berniat melangkah
bumi tak membara
waktu bersengat
diranjang sulit kumaknai bayangan
sebagaimana rautmu kian serupawan cadas
atau air kali
setiap senja, langit bau tanah
dan kau katakan ada rindu mengapung
pada setiap linangan
pelupuk kuyu
sama halnya kita diterpa patahan dunia
memisahkan diri antara impian yang tersisa.
2009
Namamu di Puisi
andai aku bisa memberi
cinta ini lain lagi dengan kebermilikan jiwa
namun jawaban itu sudah kudapat dari
nafasmu yang menghambat sesak udara
sepertinya. Kamu hanya angin.
sekalipun potongan percakapan
kemarin hanya tanya jawab biasa
bahkan bola matamu itu bergelincir
entah kepada pencarian atau seorang wanita
seperti diam ini akan melahirkan
puisi lagi.
barangkali sampai nuraniku kantuk
dibelai terakhirmu
–memabukkan malam-malamku
detik bercabang ke penjuru barat
berhenti di jarak mili di kota gemilang
padahal, aku si gila yang tiba-tiba
ketus memukul ruang dengan kalimat edan
biarlah aku bercinta dengan puisiku
hanya cara ini, aku berteriak namamu.
2009
*) Sihir Terakhir, Antologi Puisi Penyair Perempuan ASAS, Penerbit PUstaka puJAngga, 2009.
Menjelang Malam Purnama
kutulis sajak ini untuk kesekian kali
menopang getiran tanda tanya
lalu asap rokok bergetir merasuk aortaku
perbincangan di luar hanya sekadar lampu merah
burung-burung bersua, duduk sahaja
andaikan melodi kalbu dapat kudengar
sudah ke seribu malam purnama itu tak akan habis
ruh takkan meninggalkan jasad
dan kata tak mewakili jawaban
kau sudah terlanjur menggenggam siang-malam
bila kesempurnaan tiada menjadi batasan
akan kukayuh perahu bersamamu
menemui pulau tanpa penghuni
mengakhiri laut
bersamamu menjadi dayang-dayang keabadian
(namun ketika purnama usai, segalanya kau ditinggalkan.)
Serang, 2008
Kiranya Angin Enggan Bersemilir Sendiri
kiranya angin enggan bersemilir sendiri
juga musim malas diperpanjang peralihannya
disinikah paraunya rasa
menghangus batasan kesejukan
kaki pun tak berniat melangkah
bumi tak membara
waktu bersengat
diranjang sulit kumaknai bayangan
sebagaimana rautmu kian serupawan cadas
atau air kali
setiap senja, langit bau tanah
dan kau katakan ada rindu mengapung
pada setiap linangan
pelupuk kuyu
sama halnya kita diterpa patahan dunia
memisahkan diri antara impian yang tersisa.
2009
Namamu di Puisi
andai aku bisa memberi
cinta ini lain lagi dengan kebermilikan jiwa
namun jawaban itu sudah kudapat dari
nafasmu yang menghambat sesak udara
sepertinya. Kamu hanya angin.
sekalipun potongan percakapan
kemarin hanya tanya jawab biasa
bahkan bola matamu itu bergelincir
entah kepada pencarian atau seorang wanita
seperti diam ini akan melahirkan
puisi lagi.
barangkali sampai nuraniku kantuk
dibelai terakhirmu
–memabukkan malam-malamku
detik bercabang ke penjuru barat
berhenti di jarak mili di kota gemilang
padahal, aku si gila yang tiba-tiba
ketus memukul ruang dengan kalimat edan
biarlah aku bercinta dengan puisiku
hanya cara ini, aku berteriak namamu.
2009
*) Sihir Terakhir, Antologi Puisi Penyair Perempuan ASAS, Penerbit PUstaka puJAngga, 2009.
Puisi-Puisi Dewi Kartika
http://www.sastra-indonesia.com/
Bunga Kapal
Bila aku memiliki bunga
Maka aku berhak memberikan nama
Jika kamu memiliki warna
Kamulah yang berhak menentukan rupa
Sebab kita adalah nahkoda kehidupan
Janji Matahari
Celah rembulan telah berlalu untuk kembali membayar rindu
Kekuatan untuk memburu pantai
Memeluk angin, setelah berubah menjadi karang
mengakar ke bumi
hingga saat cahaya rembulan itu datang
membayangi jalan sang putri,
tak harus berdosa jika harus mencumbui waktu
menjunjung tinggi janji seorang ksatria
*) Sihir Terakhir, Antologi Puisi Penyair Perempuan ASAS, Penerbit PUstaka puJAngga, 2009.
Bunga Kapal
Bila aku memiliki bunga
Maka aku berhak memberikan nama
Jika kamu memiliki warna
Kamulah yang berhak menentukan rupa
Sebab kita adalah nahkoda kehidupan
Janji Matahari
Celah rembulan telah berlalu untuk kembali membayar rindu
Kekuatan untuk memburu pantai
Memeluk angin, setelah berubah menjadi karang
mengakar ke bumi
hingga saat cahaya rembulan itu datang
membayangi jalan sang putri,
tak harus berdosa jika harus mencumbui waktu
menjunjung tinggi janji seorang ksatria
*) Sihir Terakhir, Antologi Puisi Penyair Perempuan ASAS, Penerbit PUstaka puJAngga, 2009.
Puisi-Puisi Amelia Rachman
http://www.sastra-indonesia.com/
Ke Ujung Pohon
berdiri kaku
di atas akar tersumbat
trotoar mengeras
tengadah menuju ujung kesirnaan
yang kembali rindang
oleh dedaunan yang menggunung
ke sanalah aku akan
aku mulai meraih ranting, berpegang
menapaki dahan demi dahan
coklat menghitam penuh debu
tersisit tangan-tangan jahil
walau lambat merambat
sesekali melihat ujung
ke sanalah aku akan
jika tiba
aku terlepas dari sirna
menjadi ada di ujung
mengatur dunia yang macet
sesak dengan polusi
lelah dari munafik
terancam mati
dalam iba
ke sanalah aku akan
untuk bergerak
8 Muharram 1429 H/ 17 Januari 2008
Untuk Hati
tak perlu buka hati bagi yang lain
tak pantas dekat yang baru
ketika
harus tetapkan kisah terbaik untuk hati
Cikande, Agustus 2007
Pergi
aku ingin pergi saja, berlari
menjauhi segala yang dekat
ingin sendiri, merenung
terdiam dari penat
pergi
menemui anugerah yang abadi
Bandung, 160507
*) Sihir Terakhir, Antologi Puisi Penyair Perempuan ASAS, Penerbit PUstaka puJAngga, 2009.
Ke Ujung Pohon
berdiri kaku
di atas akar tersumbat
trotoar mengeras
tengadah menuju ujung kesirnaan
yang kembali rindang
oleh dedaunan yang menggunung
ke sanalah aku akan
aku mulai meraih ranting, berpegang
menapaki dahan demi dahan
coklat menghitam penuh debu
tersisit tangan-tangan jahil
walau lambat merambat
sesekali melihat ujung
ke sanalah aku akan
jika tiba
aku terlepas dari sirna
menjadi ada di ujung
mengatur dunia yang macet
sesak dengan polusi
lelah dari munafik
terancam mati
dalam iba
ke sanalah aku akan
untuk bergerak
8 Muharram 1429 H/ 17 Januari 2008
Untuk Hati
tak perlu buka hati bagi yang lain
tak pantas dekat yang baru
ketika
harus tetapkan kisah terbaik untuk hati
Cikande, Agustus 2007
Pergi
aku ingin pergi saja, berlari
menjauhi segala yang dekat
ingin sendiri, merenung
terdiam dari penat
pergi
menemui anugerah yang abadi
Bandung, 160507
*) Sihir Terakhir, Antologi Puisi Penyair Perempuan ASAS, Penerbit PUstaka puJAngga, 2009.
Puisi-Puisi Desti Fatin Fauziyyah
http://www.sastra-indonesia.com/
Kepada yang Melupakan
sepertinya kita hanya sebuah kartu
nomor, pesan, huruf-huruf dalam tombol
kita hanya album foto
diam dengan senyuman
yang tak berubah
sampai kartu itu hilang
sampai foto itu kenang
kita belum menjadi kita
dan kau melulu jadi pelupa
Agustus, 2007
Bandung-Cianjur
aku menemuimu di lorong hati yang berguncang
kepul asap dan orang-orang bertuai di ladang
kereta ini membawa kita pada jarak tak berujung
di jendela aku mencintai bayang-bayang sendiri
2008
Tentang Angin
Tak perlu kuudarakan kecemasan
ketika kita menyeberangi negerinegeri lain
kuceritakan padamu tentang angin
yang lebih berkuasa pada musim
membawaku kembali pada satu
September, 2007
Kau yang Air
Jangan beri aku ruang dalam malam untuk menjawab pesan dari
yang lain
Ketika angin menjadi kata-kata rindu yang menari disela-sela pintu
Ketuklah!
Kan kubuka pintu untuk lelahmu
2008
*) Sihir Terakhir, Antologi Puisi Penyair Perempuan ASAS, Penerbit PUstaka puJAngga, 2009.
Kepada yang Melupakan
sepertinya kita hanya sebuah kartu
nomor, pesan, huruf-huruf dalam tombol
kita hanya album foto
diam dengan senyuman
yang tak berubah
sampai kartu itu hilang
sampai foto itu kenang
kita belum menjadi kita
dan kau melulu jadi pelupa
Agustus, 2007
Bandung-Cianjur
aku menemuimu di lorong hati yang berguncang
kepul asap dan orang-orang bertuai di ladang
kereta ini membawa kita pada jarak tak berujung
di jendela aku mencintai bayang-bayang sendiri
2008
Tentang Angin
Tak perlu kuudarakan kecemasan
ketika kita menyeberangi negerinegeri lain
kuceritakan padamu tentang angin
yang lebih berkuasa pada musim
membawaku kembali pada satu
September, 2007
Kau yang Air
Jangan beri aku ruang dalam malam untuk menjawab pesan dari
yang lain
Ketika angin menjadi kata-kata rindu yang menari disela-sela pintu
Ketuklah!
Kan kubuka pintu untuk lelahmu
2008
*) Sihir Terakhir, Antologi Puisi Penyair Perempuan ASAS, Penerbit PUstaka puJAngga, 2009.
Puisi-Puisi Aldika Restu Pramuli
http://www.sastra-indonesia.com/
Sauh
Kapalmu pada siapa ‘kan berlabuh?
menabuh rindu di atas sauh,
berkata pada senja yang kian purna.
Nyatanya,
Kapalmu tak mau jua tiba
Tempat dulu menyulam peluh bersama topan yang lahirkan kita,
Tapi kita, kini malam yang menjahit suram paling gulita
kapanpun, entah fajar, entah siang,
Ini labuh hanya buat kau yang bersauh
Tasik, Oktober 2007
Tigapuluh April
Hari ini Tuhan menyuguhiku segelas kemarau
Ketika kerongkongan terbiasa kuyup digenangi hujan
Mengajariku bahwa musim senantiasa bertukar alamat
Mengunjungi satu wajah,
Melangkah kemudian mendengkur di wajah lain
Hari ini Tuhan mengajakku bersulang dengan seteguk kemarau,
Musim yang memaksaku menjatuhkan tangis
Lelah
Apa yang mesti diutarakan bumi pada senja
Ketika detak tinggal sepetak menapak malam?
Apa yang mesti disampaikan tanah pada hujan
Ketika air tengah mengancam bandang?
Apa yang mesti diujarkan sauh pada layar
Ketika suara angin berkabar badai?
Apa yang mesti dikatakan,
Ketika lelah?
Mata
Hujan mengajariku rahasia gerimis
lewat air matamu
Lewat sendu yang dikisahkan kantung-kantung mata
yang melekuk luka
dalam perih yang dilukis
akar merah jendelamu
Hujan mengajariku rahasia gerimis
lewat air matamu
Lewat kerdipan bulu mata yang lemah menarikan duka
menyanyikan serpih,
melantunkan pedih
di matamu,
kutemukan rahasia gerimis
lewat hujan yang menitip tangis.
*) Sihir Terakhir, Antologi Puisi Penyair Perempuan ASAS, Penerbit PUstaka puJAngga, 2009.
Sauh
Kapalmu pada siapa ‘kan berlabuh?
menabuh rindu di atas sauh,
berkata pada senja yang kian purna.
Nyatanya,
Kapalmu tak mau jua tiba
Tempat dulu menyulam peluh bersama topan yang lahirkan kita,
Tapi kita, kini malam yang menjahit suram paling gulita
kapanpun, entah fajar, entah siang,
Ini labuh hanya buat kau yang bersauh
Tasik, Oktober 2007
Tigapuluh April
Hari ini Tuhan menyuguhiku segelas kemarau
Ketika kerongkongan terbiasa kuyup digenangi hujan
Mengajariku bahwa musim senantiasa bertukar alamat
Mengunjungi satu wajah,
Melangkah kemudian mendengkur di wajah lain
Hari ini Tuhan mengajakku bersulang dengan seteguk kemarau,
Musim yang memaksaku menjatuhkan tangis
Lelah
Apa yang mesti diutarakan bumi pada senja
Ketika detak tinggal sepetak menapak malam?
Apa yang mesti disampaikan tanah pada hujan
Ketika air tengah mengancam bandang?
Apa yang mesti diujarkan sauh pada layar
Ketika suara angin berkabar badai?
Apa yang mesti dikatakan,
Ketika lelah?
Mata
Hujan mengajariku rahasia gerimis
lewat air matamu
Lewat sendu yang dikisahkan kantung-kantung mata
yang melekuk luka
dalam perih yang dilukis
akar merah jendelamu
Hujan mengajariku rahasia gerimis
lewat air matamu
Lewat kerdipan bulu mata yang lemah menarikan duka
menyanyikan serpih,
melantunkan pedih
di matamu,
kutemukan rahasia gerimis
lewat hujan yang menitip tangis.
*) Sihir Terakhir, Antologi Puisi Penyair Perempuan ASAS, Penerbit PUstaka puJAngga, 2009.
Puisi-Puisi Cut Nanda A.
http://www.sastra-indonesia.com/
Kenang
kita berpasangan
di depan gedung tua
saat hujan menggandeng angin sore-sore
berjatuhan rincik di atas payung kelabu
menikung pelan ke sunyi
kita diam saja
hanya ada jejak nafas yang pudar
Venustus, 2007
Untuk Betara
aku lempari kau jam
kau bukan menghindar:
mengulurkan tangan lalu membalasnya
berlama-lama dengan rindu dulu
kau sakit:
aku berikan opium tinggi
kau jadi melayang
lalu bawa aku dalam dunia 1001 malam
aku pecahkan kelopak mawar
tapi kau susun lagi dengan air surga buana
mengampelas duri
beri wangi dari jentik-jentik dewi bestari
kapan sabarmu habis, Betara?
Venustus, 2007
Di Pinggir Teratai
percakapan di pinggir teratai begitu santai
tergeletak dua sajak dan sebuah buku tentang jejak
bergerak batu tempat kita duduk
memanggut tanda setuju
langit biru bercermin di bajumu, dan kupu ikut berseru-
seru
aku ingat sesuatu tentang dermaga yang dulu
lalu, runtuh satu-satu titik di kolam itik
kerikil menggigil
tercungkil tungkai kaki terpelanting
kita meminggir
terlihat putih mangir tak terpungkir di wajah yang terkikir
Venustus, 2007
*) Sihir Terakhir, Antologi Puisi Penyair Perempuan ASAS, Penerbit PUstaka puJAngga, 2009.
Kenang
kita berpasangan
di depan gedung tua
saat hujan menggandeng angin sore-sore
berjatuhan rincik di atas payung kelabu
menikung pelan ke sunyi
kita diam saja
hanya ada jejak nafas yang pudar
Venustus, 2007
Untuk Betara
aku lempari kau jam
kau bukan menghindar:
mengulurkan tangan lalu membalasnya
berlama-lama dengan rindu dulu
kau sakit:
aku berikan opium tinggi
kau jadi melayang
lalu bawa aku dalam dunia 1001 malam
aku pecahkan kelopak mawar
tapi kau susun lagi dengan air surga buana
mengampelas duri
beri wangi dari jentik-jentik dewi bestari
kapan sabarmu habis, Betara?
Venustus, 2007
Di Pinggir Teratai
percakapan di pinggir teratai begitu santai
tergeletak dua sajak dan sebuah buku tentang jejak
bergerak batu tempat kita duduk
memanggut tanda setuju
langit biru bercermin di bajumu, dan kupu ikut berseru-
seru
aku ingat sesuatu tentang dermaga yang dulu
lalu, runtuh satu-satu titik di kolam itik
kerikil menggigil
tercungkil tungkai kaki terpelanting
kita meminggir
terlihat putih mangir tak terpungkir di wajah yang terkikir
Venustus, 2007
*) Sihir Terakhir, Antologi Puisi Penyair Perempuan ASAS, Penerbit PUstaka puJAngga, 2009.
Puisi-Puisi Alfatihatus Sholihatunnisa
http://www.sastra-indonesia.com/
Kisahku Dimulai dari Namamu
Kisahku dimulai dari namamu
Tentang usia yang tak lagi merekam malam
Tentang gerimis yang tak lagi menangis
Selalu jadi semacam rindu yang rapuh
Ketika tak kutemukan kau di tepian hari
Menghilang di balik mesjid
Lalu aku akan menunggumu di aruh waktu yang lain
Mengingatmu lewat angin
Aku tak pernah tahu akan waktu
Tapi kisahku telah dimulai darimu
Pada isyarat yang kau kirim lewat embun
2008
Pulang
Aku temukan kegelisahan yang lain di sisa perjalanan
Di waktu yang tinggal sepotong
Satu persatu kepingan itu semakin jauh dan hilang
Aku bahkan terlalu takut tuk sekadar memejamkan mata
Ketika pada akhirnya aku harus sampai pada tepian itu
Mungkin akan kutemukan kembali robekan-robekan kenangan
Yang tertinggal di simpangan jalan
Kali ini begitu berat melangkah pulang
Kembali pada hari-hari bisu
Di rumah tak berpintu
2008
Perjalanan
Setiap bait adalah larik-larik tentang puisi
Ditulis pada ngalir air ke laut
Dinyanyikan oleh ombak
lalu dimulai cerita tentang perjalanan
ketika matahari mulai terbenam
burung-burung pulang
cahaya adalah mercusuar
maka tak ada perjalanan yang sesaat
selalu pulang pada rumah
2008
Bandung, di Bulan Juni
“selamat malam, sunyi”
Aku tertinggal waktu
Arah dan waktu
tak kan lagi sama
hanya gerimis yang kadang datang kadang pergi
apa yang kau tangisi langit?
Sedang aku tak sempat membuat airmata
2008
*) Sihir Terakhir, Antologi Puisi Penyair Perempuan ASAS, Penerbit PUstaka puJAngga, 2009.
Kisahku Dimulai dari Namamu
Kisahku dimulai dari namamu
Tentang usia yang tak lagi merekam malam
Tentang gerimis yang tak lagi menangis
Selalu jadi semacam rindu yang rapuh
Ketika tak kutemukan kau di tepian hari
Menghilang di balik mesjid
Lalu aku akan menunggumu di aruh waktu yang lain
Mengingatmu lewat angin
Aku tak pernah tahu akan waktu
Tapi kisahku telah dimulai darimu
Pada isyarat yang kau kirim lewat embun
2008
Pulang
Aku temukan kegelisahan yang lain di sisa perjalanan
Di waktu yang tinggal sepotong
Satu persatu kepingan itu semakin jauh dan hilang
Aku bahkan terlalu takut tuk sekadar memejamkan mata
Ketika pada akhirnya aku harus sampai pada tepian itu
Mungkin akan kutemukan kembali robekan-robekan kenangan
Yang tertinggal di simpangan jalan
Kali ini begitu berat melangkah pulang
Kembali pada hari-hari bisu
Di rumah tak berpintu
2008
Perjalanan
Setiap bait adalah larik-larik tentang puisi
Ditulis pada ngalir air ke laut
Dinyanyikan oleh ombak
lalu dimulai cerita tentang perjalanan
ketika matahari mulai terbenam
burung-burung pulang
cahaya adalah mercusuar
maka tak ada perjalanan yang sesaat
selalu pulang pada rumah
2008
Bandung, di Bulan Juni
“selamat malam, sunyi”
Aku tertinggal waktu
Arah dan waktu
tak kan lagi sama
hanya gerimis yang kadang datang kadang pergi
apa yang kau tangisi langit?
Sedang aku tak sempat membuat airmata
2008
*) Sihir Terakhir, Antologi Puisi Penyair Perempuan ASAS, Penerbit PUstaka puJAngga, 2009.
Puisi-Puisi Dea Ayu Ragilia
http://www.sastra-indonesia.com/
Catatan Hujan 1
Gerimis mengucap salam pada dedaunan
tiap tetesnya adalah doa pada bunda
teringat sunyi, ketika malam mengajarkan kegelapan pada mataku
aku jatuh pada kenangan
tentang rindu, tawa, dan air mata
seperti matamu yang tak lepas kutatap
2008
Matahari
Menjelang pagi
ada yang tiba-tiba tumbuh
ada yang tiba-tiba luruh
pesannya pada lembah, memasuki celah tanah
2008
Sebuah Pesan Tertinggal di Sepertiga Malam
:bapa
ada yang tak bisa kumaknai ketika malam
tentang sunyi
tekateki
juga rindu yang tak henti
kau datang memanggil hujan
memunguti mimpi di ujung jalan
mengadu nasib pada asap rokok juga rambut putihmu
terkadang, bercakap dengan segelas kopi dan sebuah tayangan sepakbola
meski tak cukup memabukkan
kita samasama bermain kata
ah, lagilagi
sepertiga malam itu tlah memanggil
menungguku bergegas pergi
memasuki langit tuamu yang pucat
kembali pada waktu.
2008
Hujan Mengingatkan Kisah Pelayaran
Hujan mengingatkan kisah pelayaran
membuatku bermimpi tentang pulau jauh
sebuah rumah di usia senja.
Adakah hujan ini memanggil kembali kenangan
lantas membawanya pergi?
Hujan mengingatkan kisah pelayaran
melirik malumalu
mengeja pecahan senja di masa itu
kita pernah diamdiam mencuri hujan
menyimpannya dalam almari
setelah sunyi berkalikali
menginginkannya kembali
menjadi puisi.
Jalan retak, arahku pecah
cuaca selalu gagal dikira
tak ada penunjuk jalan sewaktu kalut
kaku direntang jarak
hanya menyudut rela
menahan perpisahan yang tertinggal di sudut pintu.
Hujan kembali mengingatkan kisah pelayaran
turun perlahan
mengecup pertemuan
tanpa salam,
berlalu menyisakan kenangan.
2009
*) Sihir Terakhir, Antologi Puisi Penyair Perempuan ASAS, Penerbit PUstaka puJAngga, 2009.
Catatan Hujan 1
Gerimis mengucap salam pada dedaunan
tiap tetesnya adalah doa pada bunda
teringat sunyi, ketika malam mengajarkan kegelapan pada mataku
aku jatuh pada kenangan
tentang rindu, tawa, dan air mata
seperti matamu yang tak lepas kutatap
2008
Matahari
Menjelang pagi
ada yang tiba-tiba tumbuh
ada yang tiba-tiba luruh
pesannya pada lembah, memasuki celah tanah
2008
Sebuah Pesan Tertinggal di Sepertiga Malam
:bapa
ada yang tak bisa kumaknai ketika malam
tentang sunyi
tekateki
juga rindu yang tak henti
kau datang memanggil hujan
memunguti mimpi di ujung jalan
mengadu nasib pada asap rokok juga rambut putihmu
terkadang, bercakap dengan segelas kopi dan sebuah tayangan sepakbola
meski tak cukup memabukkan
kita samasama bermain kata
ah, lagilagi
sepertiga malam itu tlah memanggil
menungguku bergegas pergi
memasuki langit tuamu yang pucat
kembali pada waktu.
2008
Hujan Mengingatkan Kisah Pelayaran
Hujan mengingatkan kisah pelayaran
membuatku bermimpi tentang pulau jauh
sebuah rumah di usia senja.
Adakah hujan ini memanggil kembali kenangan
lantas membawanya pergi?
Hujan mengingatkan kisah pelayaran
melirik malumalu
mengeja pecahan senja di masa itu
kita pernah diamdiam mencuri hujan
menyimpannya dalam almari
setelah sunyi berkalikali
menginginkannya kembali
menjadi puisi.
Jalan retak, arahku pecah
cuaca selalu gagal dikira
tak ada penunjuk jalan sewaktu kalut
kaku direntang jarak
hanya menyudut rela
menahan perpisahan yang tertinggal di sudut pintu.
Hujan kembali mengingatkan kisah pelayaran
turun perlahan
mengecup pertemuan
tanpa salam,
berlalu menyisakan kenangan.
2009
*) Sihir Terakhir, Antologi Puisi Penyair Perempuan ASAS, Penerbit PUstaka puJAngga, 2009.
Rabu, 10 Maret 2010
Puisi-Puisi Pringadi AS
http://oase.kompas.com/
Ilustrasi pemilu
Tentang Merah Warna Kakinya
sejak semula ia tahu: merah warna
kakinya membuat ia ingat darah bapaknya
yang bunuh diri mengiris nadi di tangan kiri
atau ibunya yang kemudian sakit-sakitan
batuk semakin parah sampai berdarah-darah
tak mampu berobat ke dokter di klinik dan rumah sakit
mana pun
(dan) sejak semula ia tahu: merah warna
kakinya telah memerahkan tanah yang sudah
dijejak atau disentuhnya. dibeli sepatu, merah sepatunya
pakai kaus kaki pun merah kaus kakinya. dan di
malam pertama ia baru sadar istrinya turut memerah
saat kakinya dilipat di antara tubuh penuh keringat
(yang sedang bergumul dengan nikmat)
ia lari menjerit, memandangi cermin yang
menampakkan merah matanya dan
merah tubuhnya yang membuatnya lebih menjerit
lalu keluar memandangi langit yang juga memerah
dan udara memerahkan nafasnya membuat ia
memegangi rambutnya yang juga berubah merah
(sejak semula ia (tidak) tahu: merah warna
kakinya tak bisa membuat ia membedakan
warna-warna)
Pe(m)ilu
tak usah pilih kaus mana yang hendak kupakai
di masa kampenya damai. mana saja kuterima
apalagi jika disertai berlembar rupiah entah itu
biru atau merah atau hijau pun bolehlah. asal
tak kurang itu.
kau ajak aku konvoi ke senayan pun tak masalah
asal tak lupa kau gantikan bensin yang biasa habis
untuk narik ojek sampai petang sebab tlah dipecat
aku dari kerjaku akibat krisis ekonomi kemarin.
dan tak usah kau paksa aku jadi tim sukses yang
mempromosikan dirimu sebagai caleg, entah itu
apa kepanjangannya : calon budeg kah? ah tak
masalah asal rupiah kau titipkan di kupiahku
yang sudah kumal dan bulukan.
tapi untuk hak pilih tak bisa kaupaksa. aku terima
apa saja tapi hak pilih adalah privasi seperti hak
opsi yang kautawarkan dalam perjanjian. asasi
yang dilindungi peraturan dan undang-undang
bisa kutuntut di mahkamah jika kau paksa.
Soneta: Matahari Baru
Kaki ini sudah bosan melangkah
Ketika aku mendengarmu berujar pelan:
Suatu saat manusia akan kehabisan tingkah.
“Matahari pun akan redup,” bisikmu pelan.
Tapi bukankah masih ada bulan
Yang tak pernah kehabisan rindu
Yang selalu singgah di banyak genangan
Bahkan di bola matamu yang bulat seperti gundu
“Matahari itu mati?” tanyamu lagi;
Aku turut terengah, tak ingin percaya
Tidak, matahari tak boleh mati
Mana pun, entah selatan entah utara
maka kita menjadi cahaya
menjadi matahari baru
Kisah Seorang Pembaca
Helai kafan membuatmu ingat betapa harta tak
Pernah akan ditanya penjaga kubur. Pun betapa
Gagah tubuhmu yang tak pernah absen latihan
Fitness tiga kali seminggunya.
Tapi betapa ilmu membuatmu pandai berkelit
Dari setiap Tanya yang diucap. Betapa kautahu
Siapa Tuhanmu dari kitab yang kau baca dan
Nabimu yang mengeluarkan hadits-hadits yang
Tak pernah kau dustai.
Dan betapa kau pernah membaca betapa lucu
Abu Nawas yang memesan kafan yang kusut
Agar makin pandai ia berkelit ketika ada Tanya
Yang tak bisa ia jawab dengan menipu
Serdadu serba patuh bahwa ia adalah ruh
Lama yang telah bosan ditanya.
Tapi Tuhan tahu. Maha Tahu betapa licik makhluk
Hendak mencari celah bagaimana menjawab
Setiap Tanya yang akan diajukan. diubahNya peraturan
Untuk mengganti ujian lisan dengan tulisan
Dengan jumlah soal puluhan.
Dan betapa mulutmu menganga tak pernah menyangka
Bahwa ilmu yang kaubaca selama hidupmu takkan lagi
Bisa berguna. Takkan lagi bisa kau pakai untuk berkelit
Dari setiap Tanya sebab seluruh hidupmu kauhabiskan
Untuk belajar membaca dan membaca itu sendiri tanpa
Pernah meluangkan waktu untuk MENULIS.
POP
Bob atau fof yang kudengar atau telingaku yang salah menangkapnya entah karena budaya sunda membuatku lupa apa beda f dan p atau tiba-tiba b yang mengintervensi hendak menyaingi
bukan masalah bob atau fof atau pop yang melabeli produk-produk kekinian; mencirikan hedon yang menghidupi malam yang sebelumnya sunyi. tapi bintanglah tapi bulanlah yang cemburu, betapa tak ada lagi anak-anak kecil berlarian dan menyanyikan betapa indah dirinya menyinari malam atau betapa berjuta kemilau telah menciptakan berbait lagu yang menjadi favorit jika mereka disuruh maju menyanyi di pelajaran kesenian
tapi kini, bob atau fof atau pop telah juga mengudeta nyanyian-nyanyian lalu yang tak ada bulan tak ada bintang. hanya cinta, cinta, dan CINTA.
Ka(ba)ret
Hendak kupisahkan hijaiyah ke dua yang melekat di tubuhmu agar asing kata-kata dapat kau ikat seperti rambut yang mengurai sebelum rontok satu per satu. Atau betapa peran membuat begitu banyak topeng yang menarikan lengking-lengking suara persis pekik ibu saat meregang nyawa (regang seperti tubuhmu).
Petani-petani lupa betapa busuk aroma tak lagi hinggap di hidung. Malah ia sampirkan di kidung paling agung. di butir-butir beras yang ia tanak di waktu paling duka, tanpa cahaya.
Kami lupa betapa rigid kata-kata di setiap perintah. betapa kami tak pernah taat di waktu lima yang tak boleh alpha. sengaja kami ulur kami julurkan tangan kami agar merenggang waktu meregang tubuh
o, bapak-bapak bau kemenyan dengan setelan baju yang tak murahan, betapa lupa harga seperti tubuh kami yang renggang yang tak pernah kami ikat dengan erat. seperti gerak tubuh kami yang lentur menarikan desing bunyi
apapun, hingga kami ingat betapa kami pernah menyebut hijaiyah dengan terbata.
---
*) Pringadi Abdi Surya (semenjak terbit antologi Puisinya "Alusi" oleh penerbit PUstaka puJAngga, Juni 2009, mengubah nama penanya: Pringadi AS). Lahir 18 Agustus 1988. Beberapa kali memenangkan lomba cerpen seperti HOLY Award dari kabarindonesia dan juara harapan di kolomkita. Puisi-puisinya juga pernah dimuat di beberapa portal sastra seperti kompas.com dan fordisastra.
Ilustrasi pemilu
Tentang Merah Warna Kakinya
sejak semula ia tahu: merah warna
kakinya membuat ia ingat darah bapaknya
yang bunuh diri mengiris nadi di tangan kiri
atau ibunya yang kemudian sakit-sakitan
batuk semakin parah sampai berdarah-darah
tak mampu berobat ke dokter di klinik dan rumah sakit
mana pun
(dan) sejak semula ia tahu: merah warna
kakinya telah memerahkan tanah yang sudah
dijejak atau disentuhnya. dibeli sepatu, merah sepatunya
pakai kaus kaki pun merah kaus kakinya. dan di
malam pertama ia baru sadar istrinya turut memerah
saat kakinya dilipat di antara tubuh penuh keringat
(yang sedang bergumul dengan nikmat)
ia lari menjerit, memandangi cermin yang
menampakkan merah matanya dan
merah tubuhnya yang membuatnya lebih menjerit
lalu keluar memandangi langit yang juga memerah
dan udara memerahkan nafasnya membuat ia
memegangi rambutnya yang juga berubah merah
(sejak semula ia (tidak) tahu: merah warna
kakinya tak bisa membuat ia membedakan
warna-warna)
Pe(m)ilu
tak usah pilih kaus mana yang hendak kupakai
di masa kampenya damai. mana saja kuterima
apalagi jika disertai berlembar rupiah entah itu
biru atau merah atau hijau pun bolehlah. asal
tak kurang itu.
kau ajak aku konvoi ke senayan pun tak masalah
asal tak lupa kau gantikan bensin yang biasa habis
untuk narik ojek sampai petang sebab tlah dipecat
aku dari kerjaku akibat krisis ekonomi kemarin.
dan tak usah kau paksa aku jadi tim sukses yang
mempromosikan dirimu sebagai caleg, entah itu
apa kepanjangannya : calon budeg kah? ah tak
masalah asal rupiah kau titipkan di kupiahku
yang sudah kumal dan bulukan.
tapi untuk hak pilih tak bisa kaupaksa. aku terima
apa saja tapi hak pilih adalah privasi seperti hak
opsi yang kautawarkan dalam perjanjian. asasi
yang dilindungi peraturan dan undang-undang
bisa kutuntut di mahkamah jika kau paksa.
Soneta: Matahari Baru
Kaki ini sudah bosan melangkah
Ketika aku mendengarmu berujar pelan:
Suatu saat manusia akan kehabisan tingkah.
“Matahari pun akan redup,” bisikmu pelan.
Tapi bukankah masih ada bulan
Yang tak pernah kehabisan rindu
Yang selalu singgah di banyak genangan
Bahkan di bola matamu yang bulat seperti gundu
“Matahari itu mati?” tanyamu lagi;
Aku turut terengah, tak ingin percaya
Tidak, matahari tak boleh mati
Mana pun, entah selatan entah utara
maka kita menjadi cahaya
menjadi matahari baru
Kisah Seorang Pembaca
Helai kafan membuatmu ingat betapa harta tak
Pernah akan ditanya penjaga kubur. Pun betapa
Gagah tubuhmu yang tak pernah absen latihan
Fitness tiga kali seminggunya.
Tapi betapa ilmu membuatmu pandai berkelit
Dari setiap Tanya yang diucap. Betapa kautahu
Siapa Tuhanmu dari kitab yang kau baca dan
Nabimu yang mengeluarkan hadits-hadits yang
Tak pernah kau dustai.
Dan betapa kau pernah membaca betapa lucu
Abu Nawas yang memesan kafan yang kusut
Agar makin pandai ia berkelit ketika ada Tanya
Yang tak bisa ia jawab dengan menipu
Serdadu serba patuh bahwa ia adalah ruh
Lama yang telah bosan ditanya.
Tapi Tuhan tahu. Maha Tahu betapa licik makhluk
Hendak mencari celah bagaimana menjawab
Setiap Tanya yang akan diajukan. diubahNya peraturan
Untuk mengganti ujian lisan dengan tulisan
Dengan jumlah soal puluhan.
Dan betapa mulutmu menganga tak pernah menyangka
Bahwa ilmu yang kaubaca selama hidupmu takkan lagi
Bisa berguna. Takkan lagi bisa kau pakai untuk berkelit
Dari setiap Tanya sebab seluruh hidupmu kauhabiskan
Untuk belajar membaca dan membaca itu sendiri tanpa
Pernah meluangkan waktu untuk MENULIS.
POP
Bob atau fof yang kudengar atau telingaku yang salah menangkapnya entah karena budaya sunda membuatku lupa apa beda f dan p atau tiba-tiba b yang mengintervensi hendak menyaingi
bukan masalah bob atau fof atau pop yang melabeli produk-produk kekinian; mencirikan hedon yang menghidupi malam yang sebelumnya sunyi. tapi bintanglah tapi bulanlah yang cemburu, betapa tak ada lagi anak-anak kecil berlarian dan menyanyikan betapa indah dirinya menyinari malam atau betapa berjuta kemilau telah menciptakan berbait lagu yang menjadi favorit jika mereka disuruh maju menyanyi di pelajaran kesenian
tapi kini, bob atau fof atau pop telah juga mengudeta nyanyian-nyanyian lalu yang tak ada bulan tak ada bintang. hanya cinta, cinta, dan CINTA.
Ka(ba)ret
Hendak kupisahkan hijaiyah ke dua yang melekat di tubuhmu agar asing kata-kata dapat kau ikat seperti rambut yang mengurai sebelum rontok satu per satu. Atau betapa peran membuat begitu banyak topeng yang menarikan lengking-lengking suara persis pekik ibu saat meregang nyawa (regang seperti tubuhmu).
Petani-petani lupa betapa busuk aroma tak lagi hinggap di hidung. Malah ia sampirkan di kidung paling agung. di butir-butir beras yang ia tanak di waktu paling duka, tanpa cahaya.
Kami lupa betapa rigid kata-kata di setiap perintah. betapa kami tak pernah taat di waktu lima yang tak boleh alpha. sengaja kami ulur kami julurkan tangan kami agar merenggang waktu meregang tubuh
o, bapak-bapak bau kemenyan dengan setelan baju yang tak murahan, betapa lupa harga seperti tubuh kami yang renggang yang tak pernah kami ikat dengan erat. seperti gerak tubuh kami yang lentur menarikan desing bunyi
apapun, hingga kami ingat betapa kami pernah menyebut hijaiyah dengan terbata.
---
*) Pringadi Abdi Surya (semenjak terbit antologi Puisinya "Alusi" oleh penerbit PUstaka puJAngga, Juni 2009, mengubah nama penanya: Pringadi AS). Lahir 18 Agustus 1988. Beberapa kali memenangkan lomba cerpen seperti HOLY Award dari kabarindonesia dan juara harapan di kolomkita. Puisi-puisinya juga pernah dimuat di beberapa portal sastra seperti kompas.com dan fordisastra.
Selasa, 09 Maret 2010
Puisi-Puisi Saut Situmorang
http://sautsitumorang.wordpress.com/
saut kecil bicara dengan tuhan
bocah laki laki itu
duduk sendiri
di tanah kering
di belakang rumah
diangkatnya wajahnya
yang kuning langsat
ke langit
yang kebiru biruan
matanya yang hitam
tak terpejam
asyik mengikuti gumpalan gumpalan awan
yang dihembus angin pelan pelan
dia tahu tuhan tinggal di situ
di langit biru di balik awan awan itu
karena begitulah kata Ibu
tiap kali dia bertanya ingin tahu
bocah kecil itu
masih terus memandangi langit biru
matanya yang hitam
masih terus tak terpejam
tapi dia tak mengerti
kenapa kadang kadang turun hujan ke bumi
membuat becek jalan di depan rumah
membuat dia tak boleh main di luar rumah
kalau di atas ada langit
apakah yang ada di bawah tanah ini
bocah kecil itu bertanya tanya dalam hati
mungkin di bawah tanah ini
sama seperti di atas sini, serunya dalam hati
ada pohon ada rumah rumah
ada tanah lapang dimana orang
main layang layang
dan tentu mereka mengira
di atas sini tinggal tuhan mereka!
dia mulai tersenyum
dia tahu sekarang kenapa kadang kadang turun hujan
tentu saja hujan turun dari langit
karena di atas sana tuhan sedang pesta
dan air hujan itu
tentu air yang dipakai mencuci piring gelas
sehabis pesta
sama seperti Ibu waktu cuci piring gelas
dan airnya hilang masuk ke dalam tanah
senyumnya makin lebar sekarang
dibayangkanNya anak anak mandi hujan
di bawah sana!
***
ibu seorang penyair
ibu yang menangis
menunggu kelahirannya
ibu yang menangis
kesakitan melahirkannya
ibu yang menangis
kepada orang lain memberikannya
ibu yang menangis
merawat luka lukanya
ibu yang menangis
di penjara mengunjunginya
ibu yang menangis
memberangkatkan perantauannya
ibu yang menangis
malam malam merindukannya
ibu yang menangis itu
tak menangis lagi
airmatanya sudah habis
sekarang Dia tidur
di antara rumputan di antara bintang bintang
di langit
***
bapa kami yang ada di sorga
di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa
Jogjakarta, 4 Februari 2007
saut kecil bicara dengan tuhan
bocah laki laki itu
duduk sendiri
di tanah kering
di belakang rumah
diangkatnya wajahnya
yang kuning langsat
ke langit
yang kebiru biruan
matanya yang hitam
tak terpejam
asyik mengikuti gumpalan gumpalan awan
yang dihembus angin pelan pelan
dia tahu tuhan tinggal di situ
di langit biru di balik awan awan itu
karena begitulah kata Ibu
tiap kali dia bertanya ingin tahu
bocah kecil itu
masih terus memandangi langit biru
matanya yang hitam
masih terus tak terpejam
tapi dia tak mengerti
kenapa kadang kadang turun hujan ke bumi
membuat becek jalan di depan rumah
membuat dia tak boleh main di luar rumah
kalau di atas ada langit
apakah yang ada di bawah tanah ini
bocah kecil itu bertanya tanya dalam hati
mungkin di bawah tanah ini
sama seperti di atas sini, serunya dalam hati
ada pohon ada rumah rumah
ada tanah lapang dimana orang
main layang layang
dan tentu mereka mengira
di atas sini tinggal tuhan mereka!
dia mulai tersenyum
dia tahu sekarang kenapa kadang kadang turun hujan
tentu saja hujan turun dari langit
karena di atas sana tuhan sedang pesta
dan air hujan itu
tentu air yang dipakai mencuci piring gelas
sehabis pesta
sama seperti Ibu waktu cuci piring gelas
dan airnya hilang masuk ke dalam tanah
senyumnya makin lebar sekarang
dibayangkanNya anak anak mandi hujan
di bawah sana!
***
ibu seorang penyair
ibu yang menangis
menunggu kelahirannya
ibu yang menangis
kesakitan melahirkannya
ibu yang menangis
kepada orang lain memberikannya
ibu yang menangis
merawat luka lukanya
ibu yang menangis
di penjara mengunjunginya
ibu yang menangis
memberangkatkan perantauannya
ibu yang menangis
malam malam merindukannya
ibu yang menangis itu
tak menangis lagi
airmatanya sudah habis
sekarang Dia tidur
di antara rumputan di antara bintang bintang
di langit
***
bapa kami yang ada di sorga
di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa di kepalaku ada gempa
Jogjakarta, 4 Februari 2007
Langganan:
Postingan (Atom)
A. Mustofa Bisri
A'yat Khalili
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Wachid B.S.
Abi N. Bayan
Abidah El Khalieqy
Acep Syahril
Acep Zamzam Noor
Adi Toha
Adrian Balu
AF Denar Daniar
Afrizal Malna
Agus Manaji
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunarto
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Maltuf Syamsury
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Ala Roa
Aldika Restu Pramuli
Alfatihatus Sholihatunnisa
Alfiyan Harfi
Ali Makhmud
Ali Subhan
Amelia Rachman
Amie Williams
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Andry Deblenk
Anggie Melianna
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anna Subekti
Aprinus Salam
Ariandalu S
Arieyoko Ksmb
Arya Winanda
As Adi Muhammad
Asep Sambodja
Atrap S. Munir
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
Badaruddin Amir
Bakdi Sumanto
Bambang Darto
Bambang Kempling
Bambang Widiatmoko
Beni Setia
Beno Siang Pamungkas
Bernando J. Sudjibto
Bernard S. Y. Batubara
Binhad Nurrohmat
Budhi Setyawan
Budi Palopo
Bustan Basir Maras
Chairul Abhsar
Chavchay Saifullah
Cut Nanda A.
D. Zaini Ahmad
D. Zawawi Imron
Dadang Afriady
Dadang Ari Murtono
Daisy Priyanti
Daysi Priyanti
Dea Anugrah
Dea Ayu Ragilia
Dedy Tri Riyadi
Deni Jazuli
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Desti Fatin Fauziyyah
Dewi Kartika
Dharmadi
Diah Budiana
Diah Hadaning
Dian Hartati
Didik Komaidi
Dimas Arika Mihardja
Djoko Saryono
Dody Kristianto
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Pranoto
Dwi Rejeki
Dwi S. Wibowo
Edy Lyrisacra
Effendi Danata
Eimond Esya
Eka Budianta
Eko Hendri Saiful
Eko Nuryono
El Sahra Mahendra
Ellie R. Noer
Elly Trisnawati
Emha Ainun Nadjib
Endang Supriadi
Endang Susanti Rustamadji
Eny Rose
Eppril Wulaningtyas R
Esha Tegar Putra
Esti Nuryani Kasam
Etik Widya
Evi Idawati
Evi Melyati
Evi Sefiani
Evi Sukaesih
Fadhila Ramadhona
Fahmi Faqih
Faizal Syahreza
Fajar Alayubi
Fanny Chotimah
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fati Soewandi
Fatimah Wahyu Sundari
Fauzi Absal
Felix K. Nesi
Fikri MS
Fina Sato
Firman Wally
Fitrah Anugerah
Frischa Aswarini
Gampang Prawoto
Ghaffur Al-Faqqih
Gita Nuari
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Gunawan Maryanto
Gunoto Saparie
Gus tf Sakai
Halimi Zuhdy
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hari Leo
Haris del Hakim
Hasan Al Banna
Hasan Aspahani
Hasta Indriyana
Helga Worotitjan
Heri Latief
Heri Listianto
Heri Maja Kelana
Herlinatiens
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Ibnu Wahyudi
Ikarisma Kusmalina
Ike Ayuwandari
Ilenk Rembulan
Imam S Arizal
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Iman Budi Santoso
Imron Tohari
Indah Darmastuti
Indiar Manggara
Indra Tjahyadi
Indrian Koto
Isbedy Stiawan ZS
Iwan Gunadi
Javed Paul Syatha
Jibna Sudiryo
Johan Khoirul Zaman
Johannes Sugianto
Joko Pinurbo
Joko Saputro
Jufri Zaituna
Jusuf AN
Kadek Wara Urwasi
Kadjie Bitheng MM
Kartika Kusworatri
Kedung Darma Romansha
Kika Syafii
Kirana Kejora
Kirdjomuljo
Kurnia Effendi
Kurniawan Junaedhie
Kurniawan Yunianto
Kusprihyanto Namma
Kuswaidi Syafi’ie
L.K. Ara
Lailatul Muniroh
Landung Rusyanto Simatupang
Lela Siti Nurlaila
Liestyo Ambarwati Khohar
Lina Kelana
Linda Sarmili
Linus Suryadi AG
Liza Wahyuninto
Lubis Grafura
Lutfi Mardiansyah
M. Badrus Alwi
M. Faizi
Maghfur Munif
Maghie Oktavia
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Maman S. Mahayana
Maqhia Nisima
Marcellus Nur Basah
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Marwanto
Mas Marco Kartodikromo
Mashuri
Mathori A. Elwa
Matroni el-Moezany
Maya Mustika K.
Mega Vristian
Miftahul Abrori
Mohammad Yamin
Muhammad Ali Fakih
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muntamah Cendani
Mustiar AR
Mustofa W Hasyim
Mutia Sukma
Nadjib Kartapati Z
Nanang Suryadi
Nezar Patria
Ni Made Purnama Sari
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Destriani Devi
Noor Sam
Nunung S. Sutrisno
Nur Iswantara
Nur Lodzi Hady
Nur Wahida Idris
Nurel Javissyarqi
Nurul Komariyah
Nyoman Tusthi Eddy
Nyoman Wirata
Pariyo Adi
Pringadi AS
Pringgo HR
Puisi-Puisi Indonesia
Purwadmadi Admadipurwa
Puspita Rose
Putri Sarinande
R. Toto Sugiharto
Rachmat Djoko Pradopo
Raedu Basha
Ragil Suwarno Pragolapati
Rakai Lukman
Rama Prabu
Ramadhan KH
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Ribut Wijoto
Rikard Diku
Robin Al Kautsar
Rozi Kembara
Rudi Hartono
Rusydi Zamzami
S Yoga
Sahaya Santayana
Saiful Bakri
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Selendang Sulaiman
Seli Desmiarti
Sigit Sugito
Sihar Ramses Simatupang
Siska Afriani
Sitok Srengenge
Sitor Situmorang
Slamet Rahardjo Rais
Slamet Widodo
Sosiawan Leak
Sreismitha Wungkul
Sri Harjanto Sahid
Sri Jayantini
Sri Setya Rahayu
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sumargono SN
Suminto A. Sayuti
Sunardi KS
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryanto Sastroatmodjo
Sutirman Eka Ardhana
Syifa Aulia
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Triaton
Tengsoe Tjahjono
Tharie Rietha
Thowaf Zuharon
Timur Sinar Suprabana
Tita Maria Kanita
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
TS Pinang
Ulfatin Ch
Umbu landu Paranggi
Unieq Awien
Usman Arrumy
W. Haryanto
W. Herlya Winna
W.S. Rendra
Wahyu Hidayat
Wahyu Subuh
Warih Wisatsana
Wayan Sunarta
Weni Suryandari
Widi Astuti
Wiji Thukul
Winarni R.
Y. Wibowo
Yonathan Rahardjo
Yosi M Giri
Yudhi Herwibowo
Yudhiono Aprianto
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yusuf Suharto
Yuswan Taufiq
Yuswinardi
Zaenal Faudin
Zainal Arifin Thoha
Zamroni Allief Billah
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae