Selasa, 21 Juni 2011

Puisi-Puisi Rudi Hartono

http://pawonsastra.blogspot.com/
Nyanyian Sepasang Pecinta

Siang nanti kita berjanji bertemu,
antara jalan penuh asongan yang masih terukir mungil namamu di situ.

Kita sepakat mengemasi segenap remah-remah luka, berwarna merah saga,
sebelum pamitanmu ketika itu, seperti warna darah bumi kita.

Aku harap kau di hadapanku nanti merona dan cantik berkerudung putih,
rapi dan wangi.

Tapi jangan kau kenakan segenap pakaian sunyi di tubuhmu
karena aku tak mau melihatnya.

Aku tak pernah bisa menjawab apa yang kau pertanyakan
karena rasa sayang tak ada alasan, tak terstruktur, dan tak berkerangka.

Jalan itu tetap saja kita lewati
meskipun bekas luka karena kesombongan cuaca
masih menyayat di bibir kita.

Bila nanti kau datang dengan kereta kupu-kupu
kemudian turun dari suara udara
dengan senyum kecil cahaya di balik dadaku kau kusambut.
Desiran angin belum juga datang padaku,
hanya bisikan kerikil kecil membawa kabar lewat di bawah mataku.
Aku tak akan datang, Sayang

Sukoharjo 2006



Wajahmu di Dalam Telephone

Hallo, siapa yang bertanya tentang pagi?
padahal aku sendiri terpatri membukanya setiap hari.
Apakah benar kau bidadari hati yang terbang hinggap tepat di dadaku?

Sementara itu aku terus bertanya
karena hanya ada nomor rahasia di setiap sudut kepak-kepak jemari
dan tombol penyampai pesan
sebagai isyarat bahwa kita harus segera mengemasi janji
karena bertemu pun tak mungkin lagi

Hallo, siapa di situ?
Kekasihku kah?
nafasmu dalam hatiku terlunta oleh desahan suaramu
seperti waktu kita bercinta, remuk redam digerus nuansa kita.
Wajahmu di dalam telephone seringkali membuyarkan konsentrasi
setiap kali ku tanya di mana kau berada

Hai, tak ada bisikan apapun dari mulutmu
yang ada hanya nada sela mengikuti denyut jantungku
yang tak berirama dan tanpa titk koma, melaju semakin lambat
karena pertanyaan yang tak kunjung lega
tetap saja aku pegangi gagang telephone yang sudah lama mati suri
karena aku yakin wajahmu masih tertinggal ayu
di sela-sela nada tunggu yang akhirnya pilu
Kupunguti sisa-sisa riasanmu yang masih lengket tanpa jawab

Surabaya, Agustus 2006



Renungan Takutku Padamu, Marti

Marti,
Aku takut mencintaimu
aku takut dengan kelemahanku yang terus memberontak
dari lingkaran genggamanmu
Perjuanganku memang tak secantik wajahmu yang tanpa cacat
Demi kepompong yang tak pernah bisa bermimpi
tak ada hak untuk bermimpi,
adalah hal yang sama denganku
Ujung lancip daun Teki mengundang langkah lunglaiku,
terjal dan sedikit bergelombang,
tapi dengan lidah ranummu aku terpaksa nodai fajar tadi
dengan selembar puisi ini
agar kau tahu aku tak berhak menjadi kupu-kupu

Marti
Aku takut mencintaimu
adalah sama dengan hantu yang menjaga di pundak kiriku
cukup kau yang tahu
bahwa angin membawaku dalam renungan ketakutanku

Surabaya, Agustus 2006



Cintaku Tumbuh di Meja Ini

Daunan kering di atas meja beton
memberi sedikit harapan
bahwa kita mungin satu nasib.
wajahmu membatu, layu
di bawah pohon nangka sedikit datang cahaya lewat di sela-sela ranting tua
aku memandangmu
hanya ada hening dan kekosongan, sisanya cintaku padamu
Bisikan daun itu memberi isyarat
bahwa kita harus pergi ke singgasana tempat kita nantinya bercengkrama
Banyak mata menyalahkan kita
persetan dengan mereka
yang aku tahu aku cinta, dan kau suka
Dalam kebersamaan ini aku sendiri yang membayangkanmu,
bukan orang lain
sebut saja itu kelebihanku yang sah untuk memelukmu

Dinda
Ada semut mengganggu cumbu kita
pura-pura tak melihat
dan selalu berusaha keras untuk tak kelihatan di depan kita
dari mana datangnya duri yang sering mengadu kita?
tak terasa memang, namun perlahan menggerogoti yakinku di atas kulit lembut lekuk dadamu
Yakinku berseru untuk tidak meninggalkan jejakmu
tanpa arah dan waktu kupastikan cintaku menjemputmu

Surabaya, Agustus 2006



Ketika Tak Bersamamu

Aku datang,
datang pula hamparan luas remah-remah rambutmu menyambutku

Lekuk bibirmu mengatup
tapi berbisik pada lembaran frase-frase pertanyaan
yang rambatan waktupun putus asa menyenggamainya

Menunggumu tiada bermula
akhirnya burung gereja berumahkan rambut kumalku

Penyesalanmu memang kelemahanku
janjiku tak mampu membayar titipan rindumu
barang kali kau ingin menebus dongeng-dongeng pengantar tidurmu
yang kemarin sempat kau pinjamkan pada malamku
jemari kesabaranku tak mampu lagi
menampung rajutan lagu
yang tumbuh subur di pelataran tangga nada
mendayu kesedihan yang kita sepakati bersama

Aku harap kau tetap ada dan bersuara
dan aku pasti mendengarnya,
suaramu serupa gelombang tetap kunanti menyapu iga lemahku

Juni 2006



Tanpamu

Angin hinggap di awang-awang
turun melintasi ranting-ranting dadaku
Kapan hatiku berwarna langit?
Aku tak tahu, biarlah jadi rahasia dunia

Seokor dara kecil menangis,
air matanya mekar menjelma mawar
sambil menggumam seakan diam
“tanpa kepemilikan atas dirimu membuatku tak kesepian”

Maret 2007



Karena Itu

Air matamu karena puisiku yang kucintai
Langkahmu yang menghampiriku yang kusayangi
Adalah kau yang kulingkari pelangi berbentuk hati
Sekali lagi, aku mencintaimu karena itu.

Juli 2007



Sayang Tak Untuk Beralasan

Bekas tatapan matamu masih tertinggal rapi di serambi rumahku,
saat kau pejamkan mata, lalu pergi, udara menciumimu.
Sama halnya kau yang menjelma udara yang kuhirup tanpa setahuku.
Itulah sebabnya aku memikirkanmu

Juli 2007



Perempuanku

Perempuanku, jika kau bidadari terbanglah ke sini!
Aku hampir terlelap karena mengenangmu
Tak mungkin ku akhiri.

Agustus 2006



Cinta Itu Diam

Langit terlipat rapi di rambutmu,
yang tadi sempat ku sentuh dengan jemari kesabaranku.

Kau mengingatkanku
pada daun yang belum selesai kurajut,
pada gelombang yang mengombang-ambingkan argumenku
bahwa kau telah bersemayam dalam ruang 3 X 4 inci di bilik jantungku.
Sisanya cintaku padamu yang belum sempat kusampaikan

Sept 2007



Selamat Malam, Sayang

Kau tidurkan matamu yang mulai rapuh dihunus hujan yang masih tersisa, dan ada wangi tanah,
lainnya mimipimu yang masih kau rencanakan,
denagn harapan paginya kita bertemu diperaduan.

Kapan kita mengakhiri kekejaman ruang dan waktu ini?
Tanyamu pada rindu di dadamu.

Oktober malam 2007



Kursi Pengantin

Ketika mengingatmu sudah habis dilumat udara,
kau belum datang juga

Kursi pengantin kita masih kosong,
hanya lalat-lalat biru lewat di atas kepalaku
menyampaikan cintamu yang tertunda.

Kamarku sudah aku beri bunga yang kupetik dari rambutmu,
dan kursi ini tumbuh melati,
ingin segera kau duduki
dan sejahtera menatap senyumku yang ranum
yang pernah kau ciumi dan kau kagumi.

Kamu adalah lumut di otakku, dan menjalar keseluruh tubuhku.

Penghujung 2007

Rudi Hartono, kelahiran Sukoharjo 1 April 1985. Mahasiswa UNS Surakarta, jurusan Sastra Indonesia angkatan 2003. Karya-karyanya pernah dimuat di Pendapa 3 dan Buletin Fillitra (buletin milik jurusan Sastra Indonesia).HP: 085 62 99 44 98.

Tidak ada komentar:

A. Mustofa Bisri A'yat Khalili Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Wachid B.S. Abi N. Bayan Abidah El Khalieqy Acep Syahril Acep Zamzam Noor Adi Toha Adrian Balu AF Denar Daniar Afrizal Malna Agus Manaji Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunarto Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Maltuf Syamsury Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Ala Roa Aldika Restu Pramuli Alfatihatus Sholihatunnisa Alfiyan Harfi Ali Makhmud Ali Subhan Amelia Rachman Amie Williams Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Andry Deblenk Anggie Melianna Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anna Subekti Aprinus Salam Ariandalu S Arieyoko Ksmb Arya Winanda As Adi Muhammad Asep Sambodja Atrap S. Munir Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Badaruddin Amir Bakdi Sumanto Bambang Darto Bambang Kempling Bambang Widiatmoko Beni Setia Beno Siang Pamungkas Bernando J. Sudjibto Bernard S. Y. Batubara Binhad Nurrohmat Budhi Setyawan Budi Palopo Bustan Basir Maras Chairul Abhsar Chavchay Saifullah Cut Nanda A. D. Zaini Ahmad D. Zawawi Imron Dadang Afriady Dadang Ari Murtono Daisy Priyanti Daysi Priyanti Dea Anugrah Dea Ayu Ragilia Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Desti Fatin Fauziyyah Dewi Kartika Dharmadi Diah Budiana Diah Hadaning Dian Hartati Didik Komaidi Dimas Arika Mihardja Djoko Saryono Dody Kristianto Dorothea Rosa Herliany Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dwi S. Wibowo Edy Lyrisacra Effendi Danata Eimond Esya Eka Budianta Eko Hendri Saiful Eko Nuryono El Sahra Mahendra Ellie R. Noer Elly Trisnawati Emha Ainun Nadjib Endang Supriadi Endang Susanti Rustamadji Eny Rose Eppril Wulaningtyas R Esha Tegar Putra Esti Nuryani Kasam Etik Widya Evi Idawati Evi Melyati Evi Sefiani Evi Sukaesih Fadhila Ramadhona Fahmi Faqih Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fanny Chotimah Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fati Soewandi Fatimah Wahyu Sundari Fauzi Absal Felix K. Nesi Fikri MS Fina Sato Firman Wally Fitrah Anugerah Frischa Aswarini Gampang Prawoto Ghaffur Al-Faqqih Gita Nuari Gita Pratama Goenawan Mohamad Gunawan Maryanto Gunoto Saparie Gus tf Sakai Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamid Jabbar Hari Leo Haris del Hakim Hasan Al Banna Hasan Aspahani Hasta Indriyana Helga Worotitjan Heri Latief Heri Listianto Heri Maja Kelana Herlinatiens Hudan Hidayat Hudan Nur Ibnu Wahyudi Ikarisma Kusmalina Ike Ayuwandari Ilenk Rembulan Imam S Arizal Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Iman Budi Santoso Imron Tohari Indah Darmastuti Indiar Manggara Indra Tjahyadi Indrian Koto Isbedy Stiawan ZS Iwan Gunadi Javed Paul Syatha Jibna Sudiryo Johan Khoirul Zaman Johannes Sugianto Joko Pinurbo Joko Saputro Jufri Zaituna Jusuf AN Kadek Wara Urwasi Kadjie Bitheng MM Kartika Kusworatri Kedung Darma Romansha Kika Syafii Kirana Kejora Kirdjomuljo Kurnia Effendi Kurniawan Junaedhie Kurniawan Yunianto Kusprihyanto Namma Kuswaidi Syafi’ie L.K. Ara Lailatul Muniroh Landung Rusyanto Simatupang Lela Siti Nurlaila Liestyo Ambarwati Khohar Lina Kelana Linda Sarmili Linus Suryadi AG Liza Wahyuninto Lubis Grafura Lutfi Mardiansyah M. Badrus Alwi M. Faizi Maghfur Munif Maghie Oktavia Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maman S. Mahayana Maqhia Nisima Marcellus Nur Basah Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marwanto Mas Marco Kartodikromo Mashuri Mathori A. Elwa Matroni el-Moezany Maya Mustika K. Mega Vristian Miftahul Abrori Mohammad Yamin Muhammad Ali Fakih Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muntamah Cendani Mustiar AR Mustofa W Hasyim Mutia Sukma Nadjib Kartapati Z Nanang Suryadi Nezar Patria Ni Made Purnama Sari Ni Made Purnamasari Ni Putu Destriani Devi Noor Sam Nunung S. Sutrisno Nur Iswantara Nur Lodzi Hady Nur Wahida Idris Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Nyoman Tusthi Eddy Nyoman Wirata Pariyo Adi Pringadi AS Pringgo HR Puisi-Puisi Indonesia Purwadmadi Admadipurwa Puspita Rose Putri Sarinande R. Toto Sugiharto Rachmat Djoko Pradopo Raedu Basha Ragil Suwarno Pragolapati Rakai Lukman Rama Prabu Ramadhan KH Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Ribut Wijoto Rikard Diku Robin Al Kautsar Rozi Kembara Rudi Hartono Rusydi Zamzami S Yoga Sahaya Santayana Saiful Bakri Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Selendang Sulaiman Seli Desmiarti Sigit Sugito Sihar Ramses Simatupang Siska Afriani Sitok Srengenge Sitor Situmorang Slamet Rahardjo Rais Slamet Widodo Sosiawan Leak Sreismitha Wungkul Sri Harjanto Sahid Sri Jayantini Sri Setya Rahayu Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sumargono SN Suminto A. Sayuti Sunardi KS Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Sutirman Eka Ardhana Syifa Aulia Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Ranusastra Asmara Teguh Triaton Tengsoe Tjahjono Tharie Rietha Thowaf Zuharon Timur Sinar Suprabana Tita Maria Kanita Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto TS Pinang Ulfatin Ch Umbu landu Paranggi Unieq Awien Usman Arrumy W. Haryanto W. Herlya Winna W.S. Rendra Wahyu Hidayat Wahyu Subuh Warih Wisatsana Wayan Sunarta Weni Suryandari Widi Astuti Wiji Thukul Winarni R. Y. Wibowo Yonathan Rahardjo Yosi M Giri Yudhi Herwibowo Yudhiono Aprianto Yurnaldi Yusri Fajar Yusuf Suharto Yuswan Taufiq Yuswinardi Zaenal Faudin Zainal Arifin Thoha Zamroni Allief Billah Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae