Sabtu, 03 September 2011

Puisi-Puisi Acep Zamzam Noor

Kompas, 31 Jan 2010
Pada Sebuah Kafe (1)

Apakah kau sedang menyanyi untukku, atau tidak untuk siapa-siapa
Hanya kau sendiri yang tahu. Suaramu terdengar sayup-sayup
Di antara raung gitar dan gemuruh organ. Kulihat ada yang melayang
Seperti gumpalan awan, meliuk-liuk di udara, memasuki ceruk-ceruk sepi
Mengembara dari tiang ke tiang, menyambangi meja demi meja
Hingga ruang pun bergetar. Gelas-gelas berdentingan
Apakah kau sedang menyanyi untukku, atau menyuarakan luka dulu
Apakah sedang menghiburku, atau diam-diam menikam jantungku
Hanya kau sendiri yang tahu. Di atas lantai detik-detik menggenang
Menit-menit mengendap, lalu menguap pelan-pelan, menjadi detak jam
Yang berulang. Kata-kata yang didesiskan, nada-nada yang didesahkan
Seperti berasal dari keabadian. ”Mengapa cinta ini terlarang…” tanyamu
Hanya kau sendiri yang tahu. Hanya waktu yang akan mengerti lagu itu



Pada Sebuah Kafe (2)

Apa yang sedang kulakukan? Seperti biasa aku hanya diam
Memandangmu dari kejauhan sambil membayangkan silhuet senja
Bergerak-gerak di cakrawala. Atau tersenyum mendengar syair demi syair
Yang sebenarnya sederhana namun entah kenapa jadi begitu menggetarkan
Setiap kali kaunyanyikan. Ah, aku menyukai seleramu memilih warna pakaian
Dan ikat pinggang. Kuning, biru, merah, hitam, semuanya sedap dipandang
Apa yang harus kulakukan? Sungguh aku hanya ingin menikmati
Setiap keindahan yang teronggok di pojok-pojok sunyi. Aku sekedar ingin
Melihat semua yang lewat, mencatat semua yang nampak, merekam semua
Yang mengalun lamat-lamat. Kadang kecantikan mendekatkanku pada maut
Warna rambut mengingatkanku pada kefanaan, sedang ikat pinggang itu
Yang nyalanya berkedipan mengisyaratkanku pada batas ruang dan waktu
”Tuhan, berikan aku hidup satu kali lagi…” kudengar refrein itu berulang-ulang



Pada Sebuah Kafe (3)

Ketika kau mendekat ke mejaku dan melemparkan senyum kecil
Enam jerawat kulihat di wajahmu. Satu di atas alis, dua di dekat hidung
Serta tiga di sekitar rahang, dagu dan bibir yang warnanya merah marun
Tiba-tiba aku merasa sendirian di tengah gurun, di bawah lengkung langit
Dengan enam bintang yang berkedipan, yang jauh dari jangkauan tanganku
Musik menghentak lagi. ”Cinta mati, harus dijaga sampai mati…” teriakmu
Kini aku benar-benar sendirian di tengah gurun. Kulihat kau bergerak ringan
Di antara gumpalan awan, menggeliat di sela keremangan dan kegelapan
Enam jerawat membuat wajahmu semburatkan fajar meski yang nampak
Hanya samar-samar. Ketika gerimis berhamburan aku tak mengaduh
Ketika kilat berlesatan aku tak melenguh. Namun jauh di balik dadaku
Jauh di lubuk kesepian dan kerinduan enam bintang nyaris padam
”Hati-hati menjaga hati…” suaramu terdengar serak dan lamat-lamat



Pada Sebuah Kafe (4)

Ah, aku suka caramu tersenyum, caramu menengok, caramu
Mengangguk, caramu mengibaskan rambut, caramu menggerakkan
Kepala, caramu melangkahkan kaki, juga caramu berjoget ketika dangdut
Terpaksa kaubawakan juga. Kadang senyummu malu-malu, namun tangan
Yang kaukibarkan, bahu yang kaugerakkan, pinggul yang kauputarkan
Membuat dunia yang renta ini bergetar. Membuat semuanya kembali wajar
Ah, ah, aku suka gayamu mengedipkan mata, gayamu memonyongkan bibir
Gayamu menjulurkan lidah, gayamu menggenggam mikrofon, juga gayamu
Menunjuk-nunjuk dada sambil cemberut. Ah, ah, aku suka sepatu kuningmu
Yang tumitnya runcing, yang menarik sebuah garis lengkung pada lekuk betis
Aku suka celana ketatmu yang menjadikan garis tersebut seperti meliuk-liuk
Menyusuri tepi tubuhmu yang tipis. ”Aku bukan wonder woman…” desahmu
Hanya kau yang tahu siapa sebenarnya dirimu. Dunia memang lucu



Pada Sebuah Kafe (5)

Teruslah menyanyi untukku, atau untuk siapapun
Teruslah menyuarakan hatiku, atau hati ngungun siapapun
Sampai gelas-gelas kosong di meja, sampai tak ada lagi bunyi
Di bumi. Sampai tak ada lagi sisa nada, tak ada lagi sampah kata-kata
Yang masih bisa dijeritkan ke udara. Sampai gunung-gunung runtuh
Sampai tujuh lautan menjadi hamparan kebisuan yang utuh
Teruslah menyanyi untukku, atau untuk semua orang
Teruslah menggetarkan dadaku, atau dada rawan semua orang
Tapi lampu-lampu sudah dipadamkan. Tak ada lagi senyum manis itu
Tak ada lagi sorot mata indah itu, tak ada lagi rambut sebahu itu
Tak ada lagi tubuh ramping itu, tak ada lagi betis runcing berisi itu
Tinggal ujung lagu yang gemanya masih bersahutan jauh di selatan
”Aku harus kembali menjadi ibu,” bisikmu sambil melepas semua pakaian



Pada Sebuah Kafe (6)

Sore itu aku minum kopi panas, kafe masih sepi, lampu belum dinyalakan
Sepasang anak muda berpelukan. Terdengar denting dari arah organ
Entah siapa yang mengirimkan kesedihan itu ke mari, sebuah instrumentalia
Yang sudah lama kujauhkan dari telinga. Sore itu aku menghabiskan
Dua bungkus rokok kretek serta tiga cangkir kopi. Kau belum datang juga
Atau kau memang tak pernah datang sore-sore begini
Malam itu aku memesan bir dingin, tiga bungkus rokok kretek kusiapkan
Untuk melawan bosan. Meja-meja masih kosong, musik belum dimainkan
Organ menjadi makhluk yang menyendiri di sudut, anggun sekaligus terasing
Aku ingin menjadi bunyi yang muncul dari kekosongan, yang melenting sepi
Dari ruang ke ruang tak berhuni. Malam itu aku mereguk empat botol bir
Tiga bungkus rokok kretek kuisap sendirian. Kau belum datang juga
Atau kau memang tak pernah datang malam-malam begini

====
Acep Zamzam Noor adalah penyair dan pelukis kelahiran Tasikmalaya, Jawa Barat.
Kumpulan puisinya yang terbaru, Menjadi Penyair Lagi, meraih Khatulistiwa Literary Award 2006-2007. Sedang kumpulan puisinya yang lain, Jalan Menuju Rumahmu, mendapat SEA Write Award 2005 dari Kerajaan Thailand.

Tidak ada komentar:

A. Mustofa Bisri A'yat Khalili Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Wachid B.S. Abi N. Bayan Abidah El Khalieqy Acep Syahril Acep Zamzam Noor Adi Toha Adrian Balu AF Denar Daniar Afrizal Malna Agus Manaji Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunarto Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Maltuf Syamsury Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Ala Roa Aldika Restu Pramuli Alfatihatus Sholihatunnisa Alfiyan Harfi Ali Makhmud Ali Subhan Amelia Rachman Amie Williams Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Andry Deblenk Anggie Melianna Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anna Subekti Aprinus Salam Ariandalu S Arieyoko Ksmb Arya Winanda As Adi Muhammad Asep Sambodja Atrap S. Munir Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Badaruddin Amir Bakdi Sumanto Bambang Darto Bambang Kempling Bambang Widiatmoko Beni Setia Beno Siang Pamungkas Bernando J. Sudjibto Bernard S. Y. Batubara Binhad Nurrohmat Budhi Setyawan Budi Palopo Bustan Basir Maras Chairul Abhsar Chavchay Saifullah Cut Nanda A. D. Zaini Ahmad D. Zawawi Imron Dadang Afriady Dadang Ari Murtono Daisy Priyanti Daysi Priyanti Dea Anugrah Dea Ayu Ragilia Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Desti Fatin Fauziyyah Dewi Kartika Dharmadi Diah Budiana Diah Hadaning Dian Hartati Didik Komaidi Dimas Arika Mihardja Djoko Saryono Dody Kristianto Dorothea Rosa Herliany Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dwi S. Wibowo Edy Lyrisacra Effendi Danata Eimond Esya Eka Budianta Eko Hendri Saiful Eko Nuryono El Sahra Mahendra Ellie R. Noer Elly Trisnawati Emha Ainun Nadjib Endang Supriadi Endang Susanti Rustamadji Eny Rose Eppril Wulaningtyas R Esha Tegar Putra Esti Nuryani Kasam Etik Widya Evi Idawati Evi Melyati Evi Sefiani Evi Sukaesih Fadhila Ramadhona Fahmi Faqih Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fanny Chotimah Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fati Soewandi Fatimah Wahyu Sundari Fauzi Absal Felix K. Nesi Fikri MS Fina Sato Firman Wally Fitrah Anugerah Frischa Aswarini Gampang Prawoto Ghaffur Al-Faqqih Gita Nuari Gita Pratama Goenawan Mohamad Gunawan Maryanto Gunoto Saparie Gus tf Sakai Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamid Jabbar Hari Leo Haris del Hakim Hasan Al Banna Hasan Aspahani Hasta Indriyana Helga Worotitjan Heri Latief Heri Listianto Heri Maja Kelana Herlinatiens Hudan Hidayat Hudan Nur Ibnu Wahyudi Ikarisma Kusmalina Ike Ayuwandari Ilenk Rembulan Imam S Arizal Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Iman Budi Santoso Imron Tohari Indah Darmastuti Indiar Manggara Indra Tjahyadi Indrian Koto Isbedy Stiawan ZS Iwan Gunadi Javed Paul Syatha Jibna Sudiryo Johan Khoirul Zaman Johannes Sugianto Joko Pinurbo Joko Saputro Jufri Zaituna Jusuf AN Kadek Wara Urwasi Kadjie Bitheng MM Kartika Kusworatri Kedung Darma Romansha Kika Syafii Kirana Kejora Kirdjomuljo Kurnia Effendi Kurniawan Junaedhie Kurniawan Yunianto Kusprihyanto Namma Kuswaidi Syafi’ie L.K. Ara Lailatul Muniroh Landung Rusyanto Simatupang Lela Siti Nurlaila Liestyo Ambarwati Khohar Lina Kelana Linda Sarmili Linus Suryadi AG Liza Wahyuninto Lubis Grafura Lutfi Mardiansyah M. Badrus Alwi M. Faizi Maghfur Munif Maghie Oktavia Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maman S. Mahayana Maqhia Nisima Marcellus Nur Basah Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marwanto Mas Marco Kartodikromo Mashuri Mathori A. Elwa Matroni el-Moezany Maya Mustika K. Mega Vristian Miftahul Abrori Mohammad Yamin Muhammad Ali Fakih Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muntamah Cendani Mustiar AR Mustofa W Hasyim Mutia Sukma Nadjib Kartapati Z Nanang Suryadi Nezar Patria Ni Made Purnama Sari Ni Made Purnamasari Ni Putu Destriani Devi Noor Sam Nunung S. Sutrisno Nur Iswantara Nur Lodzi Hady Nur Wahida Idris Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Nyoman Tusthi Eddy Nyoman Wirata Pariyo Adi Pringadi AS Pringgo HR Puisi-Puisi Indonesia Purwadmadi Admadipurwa Puspita Rose Putri Sarinande R. Toto Sugiharto Rachmat Djoko Pradopo Raedu Basha Ragil Suwarno Pragolapati Rakai Lukman Rama Prabu Ramadhan KH Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Ribut Wijoto Rikard Diku Robin Al Kautsar Rozi Kembara Rudi Hartono Rusydi Zamzami S Yoga Sahaya Santayana Saiful Bakri Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Selendang Sulaiman Seli Desmiarti Sigit Sugito Sihar Ramses Simatupang Siska Afriani Sitok Srengenge Sitor Situmorang Slamet Rahardjo Rais Slamet Widodo Sosiawan Leak Sreismitha Wungkul Sri Harjanto Sahid Sri Jayantini Sri Setya Rahayu Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sumargono SN Suminto A. Sayuti Sunardi KS Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Sutirman Eka Ardhana Syifa Aulia Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Ranusastra Asmara Teguh Triaton Tengsoe Tjahjono Tharie Rietha Thowaf Zuharon Timur Sinar Suprabana Tita Maria Kanita Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto TS Pinang Ulfatin Ch Umbu landu Paranggi Unieq Awien Usman Arrumy W. Haryanto W. Herlya Winna W.S. Rendra Wahyu Hidayat Wahyu Subuh Warih Wisatsana Wayan Sunarta Weni Suryandari Widi Astuti Wiji Thukul Winarni R. Y. Wibowo Yonathan Rahardjo Yosi M Giri Yudhi Herwibowo Yudhiono Aprianto Yurnaldi Yusri Fajar Yusuf Suharto Yuswan Taufiq Yuswinardi Zaenal Faudin Zainal Arifin Thoha Zamroni Allief Billah Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae