Sabtu, 03 September 2011

Puisi-Puisi Afrizal Malna

Kompas, 13 Juni 2010
Stasiun Terakhir
Untuk Slamet Gundono

Aku hanya gombal yang tergeletak di lantai 230 kg namaku. Nama yang setengahnya terbuat dari air mata dan azan subuh. Gombal yang bisa tertawa dan bernyanyi dari hidupku sendiri. Gombal dari tembang-tembang pesisiran yang membuatku bisa tertawa bersama Tuhan. Melihat surga dari orang-orang yang bertanya, kenapa ada gema kesunyian ketika aku berdiri dan menggapai semua yang buta di sekitarku, kenapa aku bertanya seperti tidak mengatakan apapun.

30 hari aku lupa caranya tidur. Dinding-dinding mulai berbicara, membuat gravitasi terbalik antara tubuhku dan malam yang tersisa pada jam 11 siang. Seluruh dunia datang dan berebut masuk ke dalam telingaku. Aku tarik rem kereta api, berderit, besi berjalan itu berhenti mendadak, berderit, seperti besi besar membentur stasiun terakhir. Aku muntahkan tubuhku bersama dengan suara-suara yang ingin mendapatkan nama dari kerinduan.

Aku hidup bersama Bisma yang berjalan dengan 1000 panah di punggungnya, kesetiaan dan kejujuran buta 23.000 kaki di atas permukaan laut. Kesunyian memukul-mukul 230 kg berat tubuhku. Istana Jawa yang terbuat dari gamelan, seorang perempuan menari dengan air susu yang terus tumpah dari buah dadanya: aku berada antara batu yang akan pecah dan belum pecah.

Telapak tanganku telah penuh cairan ludahku sendiri. Satu mangkuk teh untuk sintren yang tersesat dalam tembangku. Aku lihat tubuhku dalam TV seperti sebuah negeri yang sedang diperkosa rakyatnya sendiri. Gravitasi TV yang membuat tubuhku jadi 2 meter, sompret, kencing dalam celana.

Di stasiun terakhir itu, aku menggambar paru-paruku sendiri, tanah terus mengelupas tak henti-henti mengelupas tanah mengelupas. Hingga aku mencium bau hujan dari wayang- wayang yang bermain sendiri, antara batu yang akan pecah dan belum pecah, antara tembang yang akan mantra dan belum mantra, antara keris yang berjatuhan dari kesunyianku dan belum berjatuhan.



Naik Motor ke Suroloyo

Lehernya mengeluarkan warna biru kelabu. Ia coret lagi warna merah di dadanya, seperti stempel pos 50 tahun yang lalu. Besok kita akan ke gunung lagi besok, melihat kabut memindah-mindahkan kaki gunung. Jiwa di puncaknya yang tetap ingin sendiri, yang ingin menggunakan suara-suara serangga sebagai telinganya. Yang ingin kunang-kunang memindahkan bintang-bintang di malam hari. Yang ingin sapi terbang dari bukit-bukit ke bukit. Dan aku memotretmu setelah merapi mengeluarkan kabut merah.

Lehernya mengeluarkan warna biru kelabu. Ia tanam lagi udara dingin di dadanya, bau cengkeh dan tembakau dari mulut anjing. Besok kita akan menjadi kunang-kunang, menziarahi orang- orang gua dari mata air. Melihat kabut perak turun seperti sihir dari kesunyian. Yang mendengar air mata menyelimuti tempat tidurnya. Yang mendengar bau gunung dari dongeng- dongeng tua. Yang mendengar suara motor membelah bukit. Yang mendengar bau bunga melati di telapak tangannya. Dan aku memotretmu dari atas bukit ini ke bawah, ke bawah, ke bawah, tempat kunang-kunang menanam bintang.



Berita Rahasia dari Darmo Gandul

Ia mengatakan 100 tahun, aku ingin jadi manusia baik ia mengatakan. Dan aku menyimpan lidahku di dahan pohon randu di halaman belakang rumahku aku mengatakan. Ia mengatakan 100 tahun, aku ingin jadi manusia yang indah ia mengatakan. Dan aku menyimpan mataku dalam sebuah lampu neon di halaman belakang rumahku aku mengatakan. Ia mengatakan 100 tahun, aku ingin jadi manusia yang mengucapkan selamat datang kepada setiap yang datang ia mengatakan. Dan aku menyimpan kakiku dalam sebuah batu tempat hantu-hantu mengenang manusia.

Aku ingin jadi manusia yang mengatakan semoga kamu selamat kepada setiap orang yang ditemui ia mengatakan 100 tahun. Dan aku menyimpan tanganku di sebuah sungai tempat ikan-ikan dan pasir mengenang manusia. Kini tubuhku tanpa mata lidah kaki tangan aku simpan dalam hujan di halaman belakang rumahku. Aku berbisik pada ginjal dan paru-paruku aku berbisik pada jantung dan ususku aku berbisik … kaulah hujan dari sebuah senja yang belum pernah diciptakan.

Kini kau bawa senja itu sebuah telinga dari keheningan paling bening. Telinga yang terbuat dari rumah yang telah dihancurkan dari tanah yang mengeras angin yang tidak bisa lagi berhembus. Daun-daun membuat pohon dari awan. Aku memasuki berita rahasia untuk melupakan diri sendiri. Dan besok–mari–aku telah menjadi dia yang melupakan bahasa.



Mantel Hujan Dua Kota

Kota itu telah jadi Semarang sejak air laut ingin mendaki bukit, dan pesta tahun baru di ruang dalam bangunan- bangunan kolonial. Minum persahabatan dan melukis fotomu pada dinding musim hujan. Sepanjang malam ia mengenakan mantel dari listrik: kota yang mengapung 45 derajat di atas sejarah. Dalam mantelnya rokok kretek dan kartu atm. Mahasiswa bergerombol di warung kopi, mengambil ilmu sastra, ilmu komunikasi, antropologi dan jam-jam belajar dari pecahan kaca. Akulah anak muda yang bisa memainkan bas elektrik, blues dengan sisa-sisa kerusuhan dan sisir yang patah. Aku telah banjir di lapangan kerja dan kenaikan gaji pegawai negeri. Para arsitek yang membuat desain kota bersama air laut dan hujan.

Biarlah aku sampai ke batas tepi ini, untuk jejak yang membuat lubangnya sendiri.

Kereta keluar dari mulut stasiun Yogyakarta, bau tembakau dari pesta seni rupa dan sapi goreng. Aku kembali bernapas setelah ribuan billboard kota adalah mataku yang terus berputar, waktu yang terasa perih. Rel kereta masih menyimpan saham-saham VOC sampai Semarang. Tanah keraton yang menyimpan telur ayam, mantel biru masih menyanyikan keroncong Portugis. Bau tebu, bau padi, bata merah yang dibakar. Aku telah Yogyakarta setelah berhasil menjadi orang sibuk tidak mandi 2 hari, menggunakan excel untuk agenda-agenda padat. Dan bir dingin di antara janji- anji.

Aku telah dua kota dalam perjalanan dua jam bersambung sepeda jam 6 pagi. Biarlah aku sampai ke batas tepi ini, untuk jejak yang membuat lubangnya sendiri. Sebuah kota yang terbuat dari jam 6 pagi, dan aku mempercayainya seperti genta yang berbunyi tanpa berbunyi, bayangan gunungsebelum biru dan sebelum kelabu dan sebelum di sini.
____________
Afrizal Malna lahir di Jakarta, dan kini tinggal di Yogyakarta. Kumpulan puisinya antara lain Abad yang Berlari (1984), Arsitektur Hujan (1995), Dalam Rahim Ibuku Tak Ada Anjing (2002), dan Teman-temanku dari Atap Bahasa (2008).

Tidak ada komentar:

A. Mustofa Bisri A'yat Khalili Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Wachid B.S. Abi N. Bayan Abidah El Khalieqy Acep Syahril Acep Zamzam Noor Adi Toha Adrian Balu AF Denar Daniar Afrizal Malna Agus Manaji Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunarto Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Maltuf Syamsury Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Ala Roa Aldika Restu Pramuli Alfatihatus Sholihatunnisa Alfiyan Harfi Ali Makhmud Ali Subhan Amelia Rachman Amie Williams Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Andry Deblenk Anggie Melianna Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anna Subekti Aprinus Salam Ariandalu S Arieyoko Ksmb Arya Winanda As Adi Muhammad Asep Sambodja Atrap S. Munir Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Badaruddin Amir Bakdi Sumanto Bambang Darto Bambang Kempling Bambang Widiatmoko Beni Setia Beno Siang Pamungkas Bernando J. Sudjibto Bernard S. Y. Batubara Binhad Nurrohmat Budhi Setyawan Budi Palopo Bustan Basir Maras Chairul Abhsar Chavchay Saifullah Cut Nanda A. D. Zaini Ahmad D. Zawawi Imron Dadang Afriady Dadang Ari Murtono Daisy Priyanti Daysi Priyanti Dea Anugrah Dea Ayu Ragilia Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Desti Fatin Fauziyyah Dewi Kartika Dharmadi Diah Budiana Diah Hadaning Dian Hartati Didik Komaidi Dimas Arika Mihardja Djoko Saryono Dody Kristianto Dorothea Rosa Herliany Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dwi S. Wibowo Edy Lyrisacra Effendi Danata Eimond Esya Eka Budianta Eko Hendri Saiful Eko Nuryono El Sahra Mahendra Ellie R. Noer Elly Trisnawati Emha Ainun Nadjib Endang Supriadi Endang Susanti Rustamadji Eny Rose Eppril Wulaningtyas R Esha Tegar Putra Esti Nuryani Kasam Etik Widya Evi Idawati Evi Melyati Evi Sefiani Evi Sukaesih Fadhila Ramadhona Fahmi Faqih Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fanny Chotimah Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fati Soewandi Fatimah Wahyu Sundari Fauzi Absal Felix K. Nesi Fikri MS Fina Sato Firman Wally Fitrah Anugerah Frischa Aswarini Gampang Prawoto Ghaffur Al-Faqqih Gita Nuari Gita Pratama Goenawan Mohamad Gunawan Maryanto Gunoto Saparie Gus tf Sakai Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamid Jabbar Hari Leo Haris del Hakim Hasan Al Banna Hasan Aspahani Hasta Indriyana Helga Worotitjan Heri Latief Heri Listianto Heri Maja Kelana Herlinatiens Hudan Hidayat Hudan Nur Ibnu Wahyudi Ikarisma Kusmalina Ike Ayuwandari Ilenk Rembulan Imam S Arizal Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Iman Budi Santoso Imron Tohari Indah Darmastuti Indiar Manggara Indra Tjahyadi Indrian Koto Isbedy Stiawan ZS Iwan Gunadi Javed Paul Syatha Jibna Sudiryo Johan Khoirul Zaman Johannes Sugianto Joko Pinurbo Joko Saputro Jufri Zaituna Jusuf AN Kadek Wara Urwasi Kadjie Bitheng MM Kartika Kusworatri Kedung Darma Romansha Kika Syafii Kirana Kejora Kirdjomuljo Kurnia Effendi Kurniawan Junaedhie Kurniawan Yunianto Kusprihyanto Namma Kuswaidi Syafi’ie L.K. Ara Lailatul Muniroh Landung Rusyanto Simatupang Lela Siti Nurlaila Liestyo Ambarwati Khohar Lina Kelana Linda Sarmili Linus Suryadi AG Liza Wahyuninto Lubis Grafura Lutfi Mardiansyah M. Badrus Alwi M. Faizi Maghfur Munif Maghie Oktavia Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maman S. Mahayana Maqhia Nisima Marcellus Nur Basah Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marwanto Mas Marco Kartodikromo Mashuri Mathori A. Elwa Matroni el-Moezany Maya Mustika K. Mega Vristian Miftahul Abrori Mohammad Yamin Muhammad Ali Fakih Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muntamah Cendani Mustiar AR Mustofa W Hasyim Mutia Sukma Nadjib Kartapati Z Nanang Suryadi Nezar Patria Ni Made Purnama Sari Ni Made Purnamasari Ni Putu Destriani Devi Noor Sam Nunung S. Sutrisno Nur Iswantara Nur Lodzi Hady Nur Wahida Idris Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Nyoman Tusthi Eddy Nyoman Wirata Pariyo Adi Pringadi AS Pringgo HR Puisi-Puisi Indonesia Purwadmadi Admadipurwa Puspita Rose Putri Sarinande R. Toto Sugiharto Rachmat Djoko Pradopo Raedu Basha Ragil Suwarno Pragolapati Rakai Lukman Rama Prabu Ramadhan KH Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Ribut Wijoto Rikard Diku Robin Al Kautsar Rozi Kembara Rudi Hartono Rusydi Zamzami S Yoga Sahaya Santayana Saiful Bakri Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Selendang Sulaiman Seli Desmiarti Sigit Sugito Sihar Ramses Simatupang Siska Afriani Sitok Srengenge Sitor Situmorang Slamet Rahardjo Rais Slamet Widodo Sosiawan Leak Sreismitha Wungkul Sri Harjanto Sahid Sri Jayantini Sri Setya Rahayu Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sumargono SN Suminto A. Sayuti Sunardi KS Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Sutirman Eka Ardhana Syifa Aulia Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Ranusastra Asmara Teguh Triaton Tengsoe Tjahjono Tharie Rietha Thowaf Zuharon Timur Sinar Suprabana Tita Maria Kanita Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto TS Pinang Ulfatin Ch Umbu landu Paranggi Unieq Awien Usman Arrumy W. Haryanto W. Herlya Winna W.S. Rendra Wahyu Hidayat Wahyu Subuh Warih Wisatsana Wayan Sunarta Weni Suryandari Widi Astuti Wiji Thukul Winarni R. Y. Wibowo Yonathan Rahardjo Yosi M Giri Yudhi Herwibowo Yudhiono Aprianto Yurnaldi Yusri Fajar Yusuf Suharto Yuswan Taufiq Yuswinardi Zaenal Faudin Zainal Arifin Thoha Zamroni Allief Billah Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae