Sabtu, 17 September 2011

Puisi-Puisi Binhad Nurrohmat

http://jurnalnasional.com/
Makan Malam Lima Pengarang di Busan

Mereka menyimpan bahasa yang berbeda dalam tubuhnya
dan rasa lapar menyatukan mereka di sebuah meja makan.
Semerbak Asia, Arab, Eropa, Afrika, dan Amerika Selatan
larut bersama denting mangkok, sumpit, dan garpu logam.
Binhad, Ines, Zhamby, Andres Solano, dan Adania Shibli
menyantap hidangan yang sama seakrab lima orang saudara.
Mereka saling bicara dengan kosakata dan tatabahasa asing
yang didapat dari bangku sekolah di negeri masing-masing.
Lidah mereka bermain drama sambil beradu gelas minuman
tanpa bisa menyembunyikan aroma muasal bangsa mereka.

“By the way, Binhad tak makan daging babi
tapi Andres gentar melahap cabe pedas ini.
Apakah ini yang membuat pengarang Asia
sulit menggondol Hadiah Nobel Sastra?”

“Listen to me my dear all friends.
Hadiah Nobel terlalu murah harganya
dibanding emas dan lada kami yang pernah dijarah orang Eropa.
Hadiah sastra dunia tak bakal bisa melunasi hutang mereka.”

Tubuh mereka melingkari meja makan dengan kelakar riang
hingga lupa paspor yang tersembunyi dalam saku celananya.
Mereka menguasai meja makan dengan gairah penaklukan
dan menikmati kunyahan dengan perasaan paling merdeka.
Masa silam mengalir dalam darah mereka yang harum anggur
membuat kata kerap sulit dipercaya malam itu tapi menghibur.
Tak ada dentuman bom atau meja perundingan yang tegang
ketika membincang ukuran payudara dan percintaan penyair.
Hasrat mereka tak mengenal batas politik, ras, dan kebudayaan
seintim jabat tangan mereka yang hangat dan menyenangkan.

“Dear all authors, love across the universe.
Neruda pernah bercinta dengan perempuan asing di Batavia.
Barangkali itu jadi sumber ilham menulis sajak-sajaknya
sehingga dia bisa menerima Hadiah Nobel Sastra.”

“That’s a good idea, man.
Malam ini kita bersama para perempuan pengarang
yang bukan sekadar perempuan asing yang suka boros belanja.
Apakah kita melampaui Neruda setelah bercinta dengan mereka?”

Segala yang dingin menjadi hangat dalam girang kebersamaan
dan bahasa dalam tubuh mereka terasa bangkit namun tertahan.
Mata mereka tampak merahasiakan sesuatu yang ingin dikatakan
serapat perasaan yang indah diucapkan dalam saat-saat yang lain.
Penyair dari Asia tampak asyik menulis sesuatu di selembar tisu
– barangkali puisi atau surat cinta untuk salah satu dari mereka.
Lalu sajian penutup datang dengan aroma yang sulit terlupakan
dan seketika merangsang kelenjar mereka sesedap gelora ilham.
Ketika sisa kerakusan tubuh mereka terserak di atas meja makan
mereka bercanda tentang Amerika yang suka mengirim senapan.



Sharapova

Rambutmu yang pirang menyihir kata-kataku seketika girang
dan sekujurku yang telentang malas di ranjang terbangkitkan.
Bukan lantaran ancaman runcing anggar dan bidikan senapan
tiada cintaku bagimu sekasmaran Pushkin kepada istri orang.
Dalam tiap aroma vodka dan kaviar segar yang mendebarkan
kupancangkan pal tapal batas perasaan yang membahayakan.
Hasratku padamu terlunaskan lewat puisi pujangga negerimu
dan kau jadi jantung mimpi yang memompa darah kenyataan.
Atas nama cinta dan untuk penindasan di pengasingan Siberia
kukirim pendar sajakku dari bara Selatan yang hangat tropika.

“Ingin kuteriakkan padamu gairahku terbakar bukan untukmu
supaya aku jadi musuhmu yang menyala sepanjang hidupmu.”

Peluh membasahi bugar bahumu yang terbakar kobar matahari
membangunkan mimpi yang lama tidur dalam ketiak umurku.
Aku terkesima tanpa ingin mengingat asin keringat percintaan
selain membaca lagi roman perang dari desa Yasnaya Polyana.
Aroma tubuhmu lembut menyelusup ke relung angin kemarau
membujuk sekujur angan-angan yang tergeletak mati di Gulag.
Binatang hasrat merontakan pendaman impian dalam aortaku
dan liar menerkam tiupan gusar musim dingin di luar Kremlin.
Aku bukan jelmaan Rasputin dari pedalaman negeri kepulauan
atau bedil tentara Bolshevik yang mengakhiri Nikolai Gumilev.

“Ingin kucakar pundakku dengan kukumu yang merah jambu
supaya aku tak mengerti kau tak rela menerima ketakutanku.”

Sekujur lenganmu yang hangat dan kukuh menyambut dunia
menciptakan kejadian yang tak terduga dan memerangahkan.
Kau sungguh mengerti atau sama sekali tak pernah menduga
peristiwa cuma tiruan cinta yang lahir di luar pagar wasangka.
Jelaga Chernobyl tak mencemarkan kemurnianmu yang sahaja
menghisap siuran waktu ke lekuk sekujurmu yang segar susu.
Kutatap masa depan mengalir di lorong ototmu yang kebiruan
di balik kulitmu yang tak pernah bisa berdusta pada gairahmu.
Aku sering bercermin di situ serta kepayang menatap wajahku
yang begitu brengsek dan sakral dalam selimut kata-kata binal.

“Kauusap keberanianku yang gentar pada sorot mata kenyataan
seteguh kibasan lenganmu menyongsong takdir di depanmu.”

Senyumanmu yang riang menerima kemenangan dan kekalahan
membuatmu selalu hadir menjadi tubuh dan gelora yang hidup.
Kau tak ingin ragu pada peristiwa yang pergi serta menemuimu
setiap waktu dan mengendap dalam tubuhmu yang tanpa pintu.
Sepatumu berkejaran di atas bumi renta yang panas bersamamu
memburu dan menghadang nasib yang berlesatan dalam angin.
Kaulihat tubuhmu sesudah bercinta dan menemukan mata sajak
menguntit binar kebajikan yang tak henti dinistakan kepalsuan.
Di Gorky Park nafasmu menghangatkan udara Rusia yang beku
dan mencibir kelebat hantu Lenin dan Trotsky yang mengerikan.

“Kau menampikku menipu waktu yang terlumur kegamangan
seperti tubuh manusia terselangkupi maknanya dalam dusta.”

Pinggangmu begitu sempurna merahasiakan rengkuhan mesra
yang dulu penuh debar menjamahkan cinta dan menguasaimu.
Ingin kupelukkan sajakku di situ dan aku tahu itu tak bijaksana
karena kehangatanmu bakal menerima tanpa lagi melepasnya.
Kebebasan ingin kuberikan dan kudapatkan tanpa menyentuh
apapun yang akan membuatku tak pernah bisa melupakannya.
Aku tak kuasa perkasa menghadapimu dengan keseluruhanku
maka ada yang kutelanjangi serta kusimpan dalam sekujurku.
Aku bukan Karl Marx yang hendak membakar impian proletar
dan berterus-terang memijarkan kembali harapan yang pudar.

“Ingin selalu kubilang padamu perasaanku menjadi mata belati
yang kusemayamkan dalam sarungnya dan kusimpan di saku.”

Deburan jantungmu menggetarkan tembok perbatasan hayalan
mendesakku merasakan teduh matamu menyala dan berkobar.
Telinga kata-kataku mendengar hamburan kemarahan cintamu
melabrak sajak yang bergejolak menahanmu di sebentang jarak.
Di Lapangan Merah ada jejak revolusi yang berisik di masa lalu
yang hiruknya tak tersingkir oleh kesibukanku memikirkanmu.
Tapi aku cuma sebatas mengingat ingatan yang kuingin darimu
dan telah kucukupkan semua itu dengan seluruh keteguhanku.
Aku tak ingin ragu saat bangkit keraguanku akan kupadamkan
serta kukaramkan bersama bangkai kapal selam di Laut Hitam.

“Aku telah bersalah padamu demi keyakinan yang kuhunuskan
dan kutujahkan ke dadaku bila tatapanmu menggoyahkanku.”

Tidak ada komentar:

A. Mustofa Bisri A'yat Khalili Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Wachid B.S. Abi N. Bayan Abidah El Khalieqy Acep Syahril Acep Zamzam Noor Adi Toha Adrian Balu AF Denar Daniar Afrizal Malna Agus Manaji Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunarto Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Maltuf Syamsury Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Ala Roa Aldika Restu Pramuli Alfatihatus Sholihatunnisa Alfiyan Harfi Ali Makhmud Ali Subhan Amelia Rachman Amie Williams Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Andry Deblenk Anggie Melianna Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anna Subekti Aprinus Salam Ariandalu S Arieyoko Ksmb Arya Winanda As Adi Muhammad Asep Sambodja Atrap S. Munir Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Badaruddin Amir Bakdi Sumanto Bambang Darto Bambang Kempling Bambang Widiatmoko Beni Setia Beno Siang Pamungkas Bernando J. Sudjibto Bernard S. Y. Batubara Binhad Nurrohmat Budhi Setyawan Budi Palopo Bustan Basir Maras Chairul Abhsar Chavchay Saifullah Cut Nanda A. D. Zaini Ahmad D. Zawawi Imron Dadang Afriady Dadang Ari Murtono Daisy Priyanti Daysi Priyanti Dea Anugrah Dea Ayu Ragilia Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Desti Fatin Fauziyyah Dewi Kartika Dharmadi Diah Budiana Diah Hadaning Dian Hartati Didik Komaidi Dimas Arika Mihardja Djoko Saryono Dody Kristianto Dorothea Rosa Herliany Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dwi S. Wibowo Edy Lyrisacra Effendi Danata Eimond Esya Eka Budianta Eko Hendri Saiful Eko Nuryono El Sahra Mahendra Ellie R. Noer Elly Trisnawati Emha Ainun Nadjib Endang Supriadi Endang Susanti Rustamadji Eny Rose Eppril Wulaningtyas R Esha Tegar Putra Esti Nuryani Kasam Etik Widya Evi Idawati Evi Melyati Evi Sefiani Evi Sukaesih Fadhila Ramadhona Fahmi Faqih Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fanny Chotimah Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fati Soewandi Fatimah Wahyu Sundari Fauzi Absal Felix K. Nesi Fikri MS Fina Sato Firman Wally Fitrah Anugerah Frischa Aswarini Gampang Prawoto Ghaffur Al-Faqqih Gita Nuari Gita Pratama Goenawan Mohamad Gunawan Maryanto Gunoto Saparie Gus tf Sakai Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamid Jabbar Hari Leo Haris del Hakim Hasan Al Banna Hasan Aspahani Hasta Indriyana Helga Worotitjan Heri Latief Heri Listianto Heri Maja Kelana Herlinatiens Hudan Hidayat Hudan Nur Ibnu Wahyudi Ikarisma Kusmalina Ike Ayuwandari Ilenk Rembulan Imam S Arizal Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Iman Budi Santoso Imron Tohari Indah Darmastuti Indiar Manggara Indra Tjahyadi Indrian Koto Isbedy Stiawan ZS Iwan Gunadi Javed Paul Syatha Jibna Sudiryo Johan Khoirul Zaman Johannes Sugianto Joko Pinurbo Joko Saputro Jufri Zaituna Jusuf AN Kadek Wara Urwasi Kadjie Bitheng MM Kartika Kusworatri Kedung Darma Romansha Kika Syafii Kirana Kejora Kirdjomuljo Kurnia Effendi Kurniawan Junaedhie Kurniawan Yunianto Kusprihyanto Namma Kuswaidi Syafi’ie L.K. Ara Lailatul Muniroh Landung Rusyanto Simatupang Lela Siti Nurlaila Liestyo Ambarwati Khohar Lina Kelana Linda Sarmili Linus Suryadi AG Liza Wahyuninto Lubis Grafura Lutfi Mardiansyah M. Badrus Alwi M. Faizi Maghfur Munif Maghie Oktavia Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maman S. Mahayana Maqhia Nisima Marcellus Nur Basah Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marwanto Mas Marco Kartodikromo Mashuri Mathori A. Elwa Matroni el-Moezany Maya Mustika K. Mega Vristian Miftahul Abrori Mohammad Yamin Muhammad Ali Fakih Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muntamah Cendani Mustiar AR Mustofa W Hasyim Mutia Sukma Nadjib Kartapati Z Nanang Suryadi Nezar Patria Ni Made Purnama Sari Ni Made Purnamasari Ni Putu Destriani Devi Noor Sam Nunung S. Sutrisno Nur Iswantara Nur Lodzi Hady Nur Wahida Idris Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Nyoman Tusthi Eddy Nyoman Wirata Pariyo Adi Pringadi AS Pringgo HR Puisi-Puisi Indonesia Purwadmadi Admadipurwa Puspita Rose Putri Sarinande R. Toto Sugiharto Rachmat Djoko Pradopo Raedu Basha Ragil Suwarno Pragolapati Rakai Lukman Rama Prabu Ramadhan KH Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Ribut Wijoto Rikard Diku Robin Al Kautsar Rozi Kembara Rudi Hartono Rusydi Zamzami S Yoga Sahaya Santayana Saiful Bakri Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Selendang Sulaiman Seli Desmiarti Sigit Sugito Sihar Ramses Simatupang Siska Afriani Sitok Srengenge Sitor Situmorang Slamet Rahardjo Rais Slamet Widodo Sosiawan Leak Sreismitha Wungkul Sri Harjanto Sahid Sri Jayantini Sri Setya Rahayu Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sumargono SN Suminto A. Sayuti Sunardi KS Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Sutirman Eka Ardhana Syifa Aulia Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Ranusastra Asmara Teguh Triaton Tengsoe Tjahjono Tharie Rietha Thowaf Zuharon Timur Sinar Suprabana Tita Maria Kanita Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto TS Pinang Ulfatin Ch Umbu landu Paranggi Unieq Awien Usman Arrumy W. Haryanto W. Herlya Winna W.S. Rendra Wahyu Hidayat Wahyu Subuh Warih Wisatsana Wayan Sunarta Weni Suryandari Widi Astuti Wiji Thukul Winarni R. Y. Wibowo Yonathan Rahardjo Yosi M Giri Yudhi Herwibowo Yudhiono Aprianto Yurnaldi Yusri Fajar Yusuf Suharto Yuswan Taufiq Yuswinardi Zaenal Faudin Zainal Arifin Thoha Zamroni Allief Billah Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae